DOCUMENTO DE TRABAJO QE PUEILOS Y PLANTAS - NOVIEMBRE DE 1998 Esta colección de documentos de trabajo responde a la doble voluntad de informar y de generar un debate fructífero sobre temas fundamentales relacionados con el uso sostenible y equitativo de los recursos vegetales. Puede remitirse todo comentario sobre el presente documento o cualquier sugerencia para números futuros Modos ruralesde representacióny gestión de IOS sistemasagrosilvícolas en la periferia del ParqueNacional Kerinci Seblat,Sumatra, Las denominaciones e ilustraciones que figuran en esta publicación no entrañan juicio alguno por parte de la UNESCOacerca del estatuto jurídico de ningún país, territorio, ciudad o región o de sus respectivasautoridades, como tampoco acerca del trazado de sus fronteras o límites. Las opiniones expresadasen este documento habrán de atribuirse exclusivamente al autor, sin que la institución donde éste trabaja ni la UNESCOdeban suscribirlas necesariamente. Señasdel autor: Yildiz Aumeeruddy Laboratoire de Botanique - Université de Montpellier II 163, rue Auguste Broussonnet 34000 Montpellier - Francia Fotografías: Thierry Thomas Ilustración de cubierta: Yildiz Aumeeruddy Publicado en 1998 [a partir del original francés de 19941por la Organización de las Naciones Unidas para la Educación, la Ciencia y la Cultura, UNESCO,7 Place de Fontenoy, 75352 Paris CEDEX 07 SP. Impreso por Publicaciones de la UNESCO sobre papel reciclado sin cloro. Editora de la colección: Alison Semple Diseño y compaginación: Ivette Fabbri Traducción del original inglés al castellano: Oriol Canals Compaginación de la traducción castellana: Eric Frogé Referencia recomendada:Aumeeruddy, Y. (1998). Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. Documentos de trabajo de Pueblosy Plantas, no 3. París, UNESCO. Esta publicación existe igualmente en francés e inglés. M representación ,,,,--+‘“,“I-- y ,-“’ ~-gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Indonesia Ringkasan Resumen Daerah sekeliling Taman Nasional dan hutan-hutan lindung merupakan daerah persengketaan antara pengelola konservasi dan penduduk setempat. Walaupun imbalan yang bersifat ganti rugi mungkin telah dipertimbangkan dalam bentuk proyek pengembangan,namun pengelola daerah-daerah perbatasan ini harus berhadapan dengan berbagai perbedaan pandangan, cara penyampaian, serta sistem pemanfaatan sumber-sumber. Pekerjaan yang disajikan dalam makalah ini mencoba mengkaji perbedaan-perbedaanpendapattersebut di atas di daerah Kerinci, suatu lembah yang dikenal sebagai daerah pertanian, berpenduduk 300.000 jiwa, dikelilingi oleh Taman Nasional Kerinci Seblat, daerah lindung seluas 15 000 km2. Untuk membatasi desakanterhadapTaman Nasionalini, para petugas konservasi bermaksud mengembangkan usaha pertanian tanah perhutanan (agroforestri), dinamik-dinamik agroforestri dikaji dari segi cara penggambaran, kelayakan dan eksploitasi sumber-sumber yang ada dalam masyarakat Kerinci. Tinjauan historis tentang evolusi pertamanan agraris mulai dari permulaan abad ini menunjukkan bahwa pengembangan pengelolaan pertamanan agraris mempunyai pengaruh yang kuat terhadap eksport, terutama kayu manis (Cinnamomum burmani). Suatu analisa tentang gambaran dunia tumbuh-tumbuhan berdasarkan pada pengetahuan botani dan gambarangambaran simbolik, serta evolusi dalam pemakaian tanaman-tanaman dari waktu ke waktu memperjelas kerangka pengetahuan yang berkenaandenganetnobotani Abstract The zones surrounding parks and forest reserves are the sites of many conflicts between conservation managers and local populations. Although economic compensation may have been envisaged in the form of development projects, management of these peripheral zones encounters the problem of divergence between conservation managers and village communities in their perceptions, modes of representation and systems of appropriating resources. The work presented in this paper examines these divergencesin Kerinci, an agrarian valley with approximately 300 000 inhabitants that is encircled by Kerinci Seblat National Park, a protected area of some 15 000 km 2. As the conservation authorities intend to develop agroforestry to limit pressure on the park, agroforestry dynamics were examined from the perspective of the modes of representation, appropriation and exploitation of resources in Kerinci society. An historical overview of the evolution of the agricultura1 landscape from the beginning of this century shows the impact on the agricultura1 landscape of the development of export crops, particularly cinnamon (Cinnamomum burmani). An analysis of representations of the plant world is based on botanical knowledge and symbolic representa- Modos nas periféricas de los parques y reservas forestales son escenario de numerosos conflictos entre las autoridades gestoras y las poblaciones autóctonas. Aunque se prevean compensaciones económicas en forma de proyectos de desarrollo, la gestión de esas zonas plantea problemas ligados a la disparidad de las percepciones, los modos de representación y los sistemas de apropiación de los recursos entre los responsables del área protegida y las comunidades campesinas. El presente documento estudia estos modos divergentes de representación en el contexto concreto del Kerinci, valle agrícola de unos 300.000 habitantes enclavado dentro del Parque Nacional Kerinci Seblat, un espacio protegido de alrededor de 15.000 km2. Teniendo en cuenta que los organismos de protección concibieron en su día el desarrollo de la agrosilvicultura como mecanismo para contener la presión sobre el parque, este trabajo tiene por objeto examinar las dinámicas(o agroforestales) desde la perspectiva de los modos de representación, apropiación y explotación de los recursos propios de la sociedad kerinci. En primer lugar, un breve repaso histórico de la evolución del paisaje agrario desde principios de siglo sirve para poner de manifiesto el impacto que ha tenido sobre dicho paisaje el desarrollo de los cultivos destinados a la exportación, especialmente el de la canela (Cinnamomum burmani). DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 1 dan etnoekologi yang merupakan dasar dari praktek-praktek agroforestri yang dibahas di sini. Pengertian setempat mengenaikeanekaragamanhayati berbeda dalam aspek-aspektertentu dengan pergertian para ilmuwan-ilmuwan dan naturalis. Pengertian seorang petani kecil tentang konservasialam memperlihatkan suatu hubungan yang mantap antara hutan, mata air dan sawah,dalam konteks perhatian terhadap pengaturan air untuk kebutuhan-kebutuhanpenghidupan. Mengingat akan keterbatasantanah pertanian yang disebabkan oleh keberadaanTaman Nasional,dinamik-dinamik agroforestridi daerahKerinci menunjukan suatu kecenderunganuntuk menjadikan sistem-sistem agroforestri berlangsung sepanjangtahun terutama karenakendalakendala dalam perluasan tanah. Sebuah contoh,yang diteliti di kampung Semerap menunjukkan bagaimanalapisan-lapisan pertanian tanah perhutanan (agroforests) dibentuk dibawah kontrol kolektif tanahtanah di lereng bukit. Sementaraperlindungean terhadap lereng-lereng bukit yang ditutupi kayu-kayuproduktif dipertahankan, biasanyapenguasasetempatjuga melindungi pembaharuan ekologis dari sistem yang terdapat pada tanah-tanah kurang subur. Di kampung-kampunglain, pertanian tanah perhutanan (agroforests) berkembangdari sistem rangkaian siklus pergantian tanaman kayu dan tanaman tahunan, menuju sistem agroforestriyang berlangsung sepanjang tahun yang mengintegrasikanhasil bumi ekspor- kopi dan kayu manis - bersamadengansejumlah kayu-kayuhasil hutan lainnya. Perintis pertama penanaman kayu manis secara monokultur adalah para petani dalam usaha memberi tanda-tanda perbatasansebagaireaksiterhadapdesakan Taman Nasional atas tanah pertanian mereka.Intensifikasiagroforestridi daerah ini pada waktu yang akan datang hanya mungkin kalau pengetahuanpribumi dan cara-cara penggambaran lingkungan diketahui oleh para pengelolakonservasi, bersama dengan hak para penduduk setempat untuk ikut aktif berpartisipasi dalam prosespengambilankeputusanatas l3 pengembanganyang akan datang. 2 tions, and the change in the use of plants over time highlights the framework of ethnobotanical and ethnoecological knowledge that underlies the agroforestry practices examined here. The indigenous perception of biological diversity differs in certain ways from that of scientists and naturalists. The farmer’s conception of nature conservation establishes a relationship between forests, springs and rice fields, becauseof the need to manage water to meet subsistencerequirements. Taking into account the limits on agricultura1 land imposed by the park, the dynamics of agroforestry in Kerinci show a tendency for agroforestry systems to be made perennial as constraints on land grow. An example studied in the village of Semerap shows how multi-layer agroforests are established under collective control of hillside lands. While ensuring that dense and productive tree cover is maintained on hillside lands, customary authority also ensures the ecological renewal of the system, which lies on poor soils. In other villages, the agroforests are evolving from systemsof alternate cycles of tree crops and annyal crops, to perennial agroforestry systems that integrate export crops - coffee and cinnamon - in association with a large number of forest tree species. The pioneer fronts of cinnamon monoculture are a farmer’s way of marking territory in reaction to the limits on accessto land imposed by the park. Future intensification of agroforestry in these zones will only be possible if the indigenous knowledge and modes of representation of the environment are recognised by conservation managers, along with the right of the local population to active participation in the process of making decisions about future developments. C* DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY A continuación, un análisis de las representaciones del mundo vegetal basado en los conocimientos botánicos, las representaciones simbólicas y la evolución del uso de las plantas a través del tiempo arroja luz sobre el conjunto de saberes etnobotánicos y etnoecológicos indígenas que subyace a las prácticas agroforestales aquí descritas. La visión indígena de la diversidad biótica difiere en ciertos aspectos de la concepción que de ella tienen los científicos y los naturalistas. El concepto de protección de la naturaleza de los campesinos se caracteriza por un estrecho vínculo entre la selva, las fuentes y los arrozales, reflejo de la preocupación por una gestión del agua compatible con las necesidadesde subsistencia. Dada la escasezde tierras agrícolas que impone la presencia del parque, la dinámica agroforestalde Kerinci muestra tendencia a la continuidad de los sistemas agrosilvícolas, sobre todo allí donde más se deja sentir la escasezde tierras. El ejemplo de la aldea de Semerapmuestra la forma en que se han implantado sistemasagroforestalespluriestratificados en un contexto marcado por un control colectivo sobre las tierras de las colinas. En esa aldea, la autoridad tradicional asegura la permanencia de una cubierta arbórea densa y productiva en las laderasdel valle, velando al mismo tiempo por la renovación ecológica del sistemasituado en tierras mas pobres.En otras aldeas los sistemas agroforestales evolucionan, pasando de sistemas que alternan ciclos de cultivos arbóreos y cultivos anuales a sistemasagrosilvícolas permanentes en cuyo seno conviven los cultivos de exportación -cafetales y canelos- y un gran número de especies arbóreasforestales. Las nuevas tierras agrícolas dedicadas al monocultivo del canelo son un modo de señalización del territorio por el cual los campesinos responden a las condiciones de acceso impuestas por la presencia del parque. La futura intensificación de la agrosilvicultura en esas zonas dependerá de que las autoridades del parque reconozcan los conocimientos y modos de representación del medio ambiente propios de los indígenas, junto al derecho de éstos a participar activamente en los procesos decisorios que afecten a la evolución .:. futura de la zona. Indice Introducción 6 Presentación general de Kerinci El Parque Nacional Kerinci Seblat El valle de Kerinci Característicasfísicas Historia del asentamiento humano. Organización social y administrativa La agricultura El tránsito de la agricultura de rozas y quema a los sistemas agrosilvícolas:síntesis histórica Paisajeagrario actual El cultivo del arroz El canelo: principal cultivo de exportación 14 La protección del medio natural considerada desde la óptica de las representaciones locales Los antepasados,la selva, las fuentes, los ríos y el cultivo del arroz El ejemplo de un bosque de propiedad comunitaria Polivalencia del árbol en las explotacionesagrícolas Arboles que señalizan el territorio Evolución de los usos La biodiversidad desdela óptica del campesino 21 Sistemas agrosilvícolas de Kerinci: fundamentos y dinámicas Elementos metodológicos para el estudio de los sistemasagrosilvícolas Sistemasagroforestalesbásicamentefrutícolas. La gestión de un recurso raro y frágil: el suelo Flexibilidad de los sistemas de cultivo que contienen canelos 32 Dinámica agrosilvícola en Kerinci Disponibilidad de tierras y presión demográfica Influencia del tipo de gestión de los recursos (privada o colectiva) sobre la evolución de las técnicas agrosilvícolas Relación entre vías de comercialización y dinámica agrosilvícola 35 Conclusiones Agradecimientos Referenciasbibliográficas 41 Anexos Plantas útiles de la selva patrimonial de Temedak,en Keluru Plantas de los sistemasagrosilvícolaspelak de Jujun y Keluru Algunos ejemplos de la diversidad de Rutaceaey Zingiberaceae utilizadas en Kerinci Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerincí Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 3 Introducción El gobierno de Indonesia y las ONG ecologistas internacionales preconizan la creación de sistemas agrosilvícolas en las zonas de amortiguación que rodean parques y reservas (Wind y Prins, 1989; Hadisepoetro, 1991; Blough y Siregar, 1985; Santiapillai, 1991). EI objetivo primero de este trabajo, emprendido a solicitud del Departamento de Conservación del Ministerio de Bosques indonesio (PHPA) y del WWF-Indonesia, consistía en evaluar las posibilidades agrosilvícolas del valle de Kerinci y estudiar la medida en que el desarrollo de sistemas agroforestales alrededor del Parque Nacional Kerinci Seblat podría contener la intrusión agrícola en tierras selváticas y la utilización excesiva de productos forestales. El interés que suscitan los sistemas agrosilvícolas tradicionales de las regiones tropicales húmedas obedece a su reproductibilidad a nivel ecológico y socioeconómico (Steppler y Raintree, 1983; Hallé, 1985; Alexandre, 1989; Nair, 1989). Las tradiciones y los conocimientos prácticos de los campesinos se caracterizan por la incorporación del árbol al sistema agrícola, asociado a una gran diversidad de especies vegetales, una solución a primera vista más apta para las regiones tropicales húmedas que las propuestas de la Revolución Verde (Janzen, 1973; Bergeret, 1977; Tiollier, 1984). Los fundamentos socioeconómicos de los sistemas agrosilvícolas tradicionales confieren a tales sistemas una gran viabilidad, gracias sobre todo a la flexibilidad que permite su gestión y a su capacidad de acomodarse al mercado internacional sin dejar por ello de suministrar muchos productos de primera necesidad (Harwood, 1979, Mary, 19871989). Nadie pone en duda actualmente el valor que para la conservación in-situ de la naturaleza revisten los sistemas agroforestales, que permiten conciliar la protección de la biodiversidad y el mantenimiento y desarrollo de las sociedades (Alcorn, 1984; Altieri y Merrick, 1987, Foresta y Michon, 1991). Algunos estudios realizados en la periferia de masas forestales protegidas de Sumatra, concretamente en las provincias de Lampung y Sumatra Oeste, demuestran que los cinturones de sistemas agrosilvícolas dotados de una estructura de tipo forestal y de una gran diversidad de especiespueden DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY convertirse en sustitutos adecuados de las extensiones puramente forestales (Michon y Bompard, 1987; Michon et al., 1989). A la vista del ritmo de crecimiento demográfico, parece inevitable que las masas forestales devengan progresivamente jardines agrosilvícolas. Sin embargo, dada la política de conservación que se aplica en los parques y reservas, tal perspectiva no parece viable. La posibilidad de una intensificación de las actividades agrosilvícolas que tenga en cuenta las dinámicas agrarias locales exige previamente un estudio detallado a nivel microrregional. Por otro lado, como señala Sayer (1991), ninguna solución agrosilvícola de naturaleza estrictamente técnica resultaría viable, pues las zonas periféricas de los parques y reservas son escenario de numerosos conflictos y tensiones y plantean, amén de cuestiones ligadas a la intensificación agrosilvícola, problemas de orden ético. El mantenimiento de las zonas forestales con estatuto de reserva natural, parque recreativo, parque nacional, etc. es una de las soluciones que contemplan científicos y ecologistas para preservar espacios supuestamente intactos, representativos de la gran riqueza biótica que atesoran las selvas tropicales. Sin embargo, para las poblaciones que viven alrededor y dentro de los parques y reservas, la selva es fuente de vida y parte constitutiva (salvo pára poblaciones inmigradas) de un teryitorio comunitario bien delimitado cuyos orígenes se remontan muy lejos en el tiempo. La aldea ejerce sobre ese territorio un control basado en modos de apropiación y utilización de los recursos que se rigen por leyes comunitarias. Cuando se adscribe el territorio a un área protegida se priva de acceso al mismo a la población autóctona. Es sabido hoy en día.que un modo de gestión de las reservas basado únicamente en un sistema de leyes, prohibiciones y vigilancia no es capaz de resolver los inevitables conflictos de intereses que se plantean entre las poblaciones autóctonas y las autoridades responsables de la protección. A partir de los años 60, y ante el recrudecimiento de ese tipo de conflictos, la actitud de los responsables empezó a cambiar. La celebración de la Conferencia de la Biosfera de la UNESCO (1968) alumbró la idea básica de que la protección de los recursos naturales debía ser paralela a un uso de los mismos beneficioso para el Hombre (Batisse, 1982). Desde entonces, muchos autores han subrayado la necesidad de prestar atención a las consecuenciassocioeconómicas de la creación de parques y reservas (MacKinnon, 1981; McNeely y Miller, 1982; Oldfield, 1980; Sayer, 1991; Wells et al., 1992). Más que el problema de las compensaciones económicas, los espacios protegidos suscitan el de la profunda discrepancia entre las percepciones, los modos de representación y los sistemas de apropiación de los recursos con los que trabajan las autoridades gestoras y los propios de las comunidades locales (Machliss y Trichnell, 1985; Zube, 1986, Weber y Reveret, 1993). De lo que se trata pues es de examinar en cada caso las dinámicas agroforestales desde el punto de vista de los modos de apropiación y explotación de los recursos propios de la sociedadafectada. Una situación de esta índole es la que se estudia en un trabajo de tesis doctoral (Aumeeruddy, 1993) centrado en Kerinci, valle agrícola enclavado dentro del Parque Nacional Kerinci Seblat, en Sumatra Central’(Figura 1). Más concretamente, se analiza la dinámica agrosilvícola en el contexto de las limitaciones que el parque impone al crecimiento de las tierras agrícolas. Recurriendo a los métodos analíticos de la etnociencia, se estudian en dicho trabajo las representaciones, los conocimientos y los usos tradicionales del medio vegetal natural y agrícola. (La etnociencia, disciplina que estudia las categorías semánticas indígenas [Conklin, 19541, examina también, desde una perspectiva histórica, los conocimientos y técnicas populares [Haudrocourt y Hédin, 19871, intentando restituir las clasificaciones y la jerarquización del saber indígena en el marco de las representaciones simbólicas [Lévi-Strauss, 1962; Descola, 19861.) Para esa investigación se adoptó una óptica dual: por un lado, el análisis de las actitudes, representaciones, conocimientos y modos de apropiación y explotación del entorno por parte de la sociedad en estudio; por otro lado, un análisis científico de los ecosistemas que los habitantes manipulan, de los elementos que integran tales ecosistemas y del fundamento de ciertas prácticas (categorizaciones de los ecosistemasy los tipos de vegetación, análisis florístico y estructural de los sistemas agrosilvícolas, ecología, etc.). Esta doble metodología permite comparar el análisis científico con la lógica campesina que rige la explotación del medio. Los sistemas de representaciones son sistemas de valores y de clasificación, construcciones simbólicas propias de cada sociedad que configuran su interpretación del medio natural. Las formas de explotación (agricultura, pesca, caza, recolección, etc.), destinadas a satisfacer necesidadesvitales y de reproducción social, guardan una relación de tipo dialéctico con los sistemas de representaciones, esto es, se basan en los sistemas de representaciones y al mismo tiempo influyen sobre ellos (Friedberg, 1992). La síntesis de los resultados que aquí se expone pretende aportar elementos de reflexión y propuestas concretas a las estrategias de protección de la naturaleza que se aplican en Kerinci y, de manera más general, a la gestión de las áreas periféricas de espacios protegidos en regiones tropicales húmedas. Los resultados de la investigación, fruto de la colaboración multidisciplinar de un antropólogo, un socioeconomista y dos botánicos, se exponen en diversos informes elaborados por los miembros del equipo (Savouré, 1990; Aumeeruddy, 1992, 1993; Fedensieu, 1992; Sansonnens, 1992, 1994). 0 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 5 \L.j\ tipos de selva representadosen su interior esta ligada ‘\, a la gran variación altitudinal de la región (entre 300 y 3.800 metros). Sólo faltan en el Parque los bosques de llanura de baja altitud (~300 m). En 1929, el gobierno colonial prohibió la tala y el.pastoreo’en las selvas de Kerinci, disposición que más tarde iba a ‘prorrogar el gobierno indonesio. En 1982, reconociendo“la importancia biológica y \, económica de esas selvas, la FAO propuso un “xX,programa para reforzar su estatuto de espacio “‘s,protegido.Las razones aducidas por !a FAO (1982) se ‘\ resumen en las siguientes: Con una superficie de 14.847 km2, el Parque Nacional O- L&liversidad de hábitats (lagos y ecosistemas de Kerinci Seblat forma actualmente la mayor zona riberaì’bosques de colina de baja y media altitud, continua de selva primaria que existe en Sumatra. bosques,submontanos y montanos y --bpsques Sus 345 km de longitud corren paralelos a la hidrofíticos), cordillera volcánica de los Barisan, que corta la isla de 0 El tamaf$,o de la reserva, que constituye una sureste a noroeste (Figura 1). La gran diversidad de importante zona de refugio para numerosas espechs \ ~,animales en peligro de extinción \ (rinocerontes de Sumatra, tigres, cabras salvajes de Sumatra, ^ * ‘.\ tapires, elefantes, etc.). \ 0 Su importancia para ::--,la protección de la red Figura 1. Situación del valle y hidrográfica de del Parque Nacional Kerinci Seblat. \ I* _ El ParqueNacionalKerinci%’ : \, Seblat 6 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la perifel del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY los mayores ríos del sur de Sumatra y, con ello, para el riego de millones de hectáreasde tierra agrícola. Este espacio constituye el parque nacional (Taman Nasional) más extenso de Indonesia, y la tercera zona forestal -en términos de tamañoprotegida del archipiélago (las otras dos gozan sólo del estatuto de reserva natural, o SuakaAlam). En su interior se yergue uno de los picos más altos del archipiélago indonesio, el Monte Kerinci, un volcán activo cuyo pico se encuentra a 3.805 m de altitud. El estatuto de Parque Natural, del que goza desde 1991, confiere a esta zona un valor único para la conservación de los bosques de Sumatra y del conjunto del archipiélago indonesio. El refuerzo de dicho estatuto que introdujeron las nuevas leyes indonesias sobre la protección de la naturaleza (Ley 5 de 1990) trajo consigo la aplicación de programas de desarrollo y protección integrados, con apoyo a nivel internacional. En junio de 1990 se instaló en Sungai Penuh, la principal ciudad del valle, una oficina del WWF (proyecto WWF-Indonesia no 3.941) que colabora en la gestión del Parque con la delegación local del Departamento de Conservación del Ministerio de Bosques (PHPA). En el marco del programa del Fondo para el Medio Ambiente Mundial, el Banco Mundial ha iniciado en Kerinci un programa piloto de protección de la biodiversidad. El valle de Kerinci Caracteristicasfisicas ‘- _ rI _* “i I’_” Situado a 780 m de altitud, enclavado entre montañas, con 80 km de longitud por.unos 10 km de anchura, este valle goza de un clima suave (temperatura medía anual de 23%) y de un régimen pluviométrico anual medio de 2.500 mm, con una estación secaalrededor de julio y agosto (pluviosidad mensual inferior a 100 mm). Sus rasgos más sobresalientes son la gran llanura aluvial, la presencia del lago Kerinci (41 km2) al sur y, dominando el valle desde su extremo norte, la del Monte Kerinci (Fotografías 1,2, 3 y 4). Las vertientes laterales del valle principal ofrecen en primer plano un paisaje de pequeñas colinas, prolongadas a lo lejos por relieves más abruptos. Entre los variados tipos de suelo que tapizan el valle destacanlos siguientes: 0 En ambos extremos, suelos volcánicos de gran riqueza, fruto de la actividad volcánica más reciente. 0 En las vertientes laterales, suelos montañosos pobres (inceptisoles y ultisoles poco fértiles) con una delgada capa de tierra arable, muy vulnerable a la erosión en caso de fuerte pendiente. 0 Llanuras de toba ácida situadas alrededor del valle Merangin. 0 Tierras aluviales en el lecho del valle. Historia del asentamiento humano. Organizaciónsocial y administrativa Ciertos estudios palinológicos han detectado rastros de presencia humana de una antigüedad aproximada de 4.000 años, testimonio de una perturbación de los bosques causada por la actividad del hombre. La presencia de restos arqueológicos del neolítico corrobora tal extremo (Morley, 1980; Schnitger, 1989). Durante el periodo de dominio holandés, el pueblo kerinci era famoso por su carácter independiente y su reticencia a dejarse administrar por los neerlandeses.Aunque en 166O”sefirma ya un primerltr&do entre los’holandesesy los habitantes ‘de Ke$rci para el comercio de oro, la población’no claudicó ni cedió a la administración holandesahasta 1903, tras una encarnizada guerra contra las fuerzas expedicionariasenviadasa la región. A resultas de sucesivas oleadas migratorias procedentes de las aledañas, el valle presenta una organización social heteróclita, mezcla de los rasgos matrilineales propios de la región minangkabau de la costa occidental y de los sistemas indiferenciados de la provincia de Jambi (Watson, 1984, 1991). La organización de tipo matrilineal privilegia el linaje femenino en todo lo que respecta a la transmisión Fotografía 2. Pescadores de la aldea de Jujun a su regreso del lago Kerinci. Fotografía 3. El lago Kerinci (41 km2), situado en la zona meridional del valle. hereditaria de bienes, el nombramiento de los jefes dinásticos, la propiedad de las tierras, las reglas de residencia, etc. Los sistemas indiferenciados, por el contrario, se caracterizan por la ausenciade linaje, la transmisión de bienes de forma indistinta a hombres o mujeres, el reconocimiento de un grupo de antepasadoscomunes y la presencia de jefes de grupo de origen común. Pese a tal heterogeneidad, la identidad cultural es fuerte: los habitantes se denominan a sí mismos orang Kerinci (hombres de Kerinci) y reconocen el derecho consuetudinario (hukum adat) kerinci. La autoridad tradicional regula distintos ámbitos de la vida social, entre ellos el matrimonio, las reglas de residencia y los sistemas de parentescoy herencia (Watson, 1992). Cada aldea de Kerinci poseesu propio territorio (wilavah), que comprende arrozales y tierras en las colinas. Estas últimas, cuya gestión y apropiación dependen de la autoridad tradicional, se dividen en tierras agrícolas y tierras forestales. En Kerinci, los arrozales son tierras de propiedad colectiva sobre las que los habitantes no poseen más derecho que el de usufructo. De ahí que no puedan venderse.Las tierras de las colinas, en cambio, se otorgan a los habitantes mediante simple solicitud de éstos a los jefes tradicionales. Toda parcela de selva talada y cultivada por un habitante de la aldea dentro del territorio comunitario pertenecepor derecho a esa persona. Se trata pues de una propiedad privada, aunque la autoridad tradicional se reserva el derecho de fiscalizarla, especialmenteen el caso de tierras abandonadas, que la colectividad podrá en tal circunstancia recuperar (Watson, 1992). De todas formas, la situación no es homogénea en todo el valle, pues ciertas tierras de colina pertenecen en ocasiones a la comunidad, como veremos más adelante en el caso de la aldea de Semerap.El sistema de propiedad de las tierras puede variar sensiblemente de una a otra aldea, lo que a su vez influirá sobre el sistema de cultivo que elija el campesino, sobre las posibilidades de compraventa de terrenos y sobre la conversión de tierras forestales. El valle está adscrito administrativamente al departamento de Kerinci (kabupaten Kerinci), el 60 % de cuyo territorio queda dentro del Parque Nacional, mientras que el restante 40% corresponde a tierras agrícolas (Figura 2). Con cerca de 300.000 habitantes y una tasa de crecimiento del 2,2% (Kerinci Dalam Angka, 1988), un rápido cálculo permite predecir que, abstracción hecha de las posibles pérdidas o ganancias ligadas a movimientos migratorios, la población del valle se habrá duplicado en un plazo de veinte años. Dada la creciente escasez de tierras cultivables, no es de extrañar que una parte de los jóvenes ansíe dejar el valle. Por otra parte, el aumento del nivel de estudios ha movido a algunos jóvenes a abandonar la agricultura y emigrar. Entre los inmigrantes que arriban espontáneamente a Kerinci figuran muchos campesinospobres en busca de trabajo como obreros agrícolas o aparceros. Atraídos por el desarrollo agrícola, acuden asimismo a instalarse numerosos comerciantes. La importancia de estos flujos migratorios constituye, hoy por hoy, un enigma. Figura 2. Uso de las tierras en el departamento de Kerinci. ’ --- LIMITEe~LDEP~~~~Me~~ @ LAGQ - 0 m aun a CARRETERAS VALLE AGRICOtA ENCLAVEAGRICOL4 ILEGAL PARQUENACIONAL ARROZAL Fotografía 4. Pequeño pueblo de pescadores en la ribera del lago Kerinci, con vista de un mosaico de jardines de tipo ladang en las colinas. Laagricultura En la actualidad, la subsistencia de nueve de cada diez familias de Kerinci depende de la agricultura, sin la menor duda la principal actividad productiva del valle (Kerinci Dalam Angka, 1988). Las actividades agrícolas más importantes son el cultivo de arroz bajo inundación (que se practica básicamente en el lecho del valle) y la plantación de árboles con fines comerciales (en las laderas de las colinas). El tránsito de la agricultura de rozas y quema a los sistemas agrosilvícolas: síntesis histórica Según rezan las crónicas de exploradores ingleses que visitaron Kerinci durante el siglo XIX (Marsden, 1975; Kathirithamby Wells, 1986), la agricultura de entonces se caracterizaba por cultivos sobre rozas quemadas alternados con barbechos forestales, paralelamente al cultivo de arroz bajo inundación en el lecho del valle. Como atestigua el relato de Campbell (Marsden, 1975), que alude al consumo de carne de ciervo, pato salvaje, paloma verde, codorniz y numerosas especiesde pescado,los productos de la caza ocupaban un lugar de importancia en la dieta local. De las estadísticas del gobierno colonial (van Aken, 1915) se deduce que en la costa oeste se vendían muchos productos forestales procedentes de Kerinci, en especial resinas y ratanes. El desarrollo de cultivos arbóreos con fines comerciales (café, canela, caucho) cobró un auge considerable a partir de los años 20, facilitado por la carretera que los holandeses construyeron entre el valle y el puerto de Padang y por la modernización de los propios intercambios comerciales (Watson, 1984). El desarrollo de los cultivos de exportación contó siempre con apoyo oficial, primero del gobierno colonial y más tarde del gobierno indonesio. Ello trajo consigo la plantación de árboles de vocación comercial en las tierras desbrozadas,lo que a su vez determinó la perpetuación de la agricultura. El paisaje agrario de Kerinci devino entonces un mosaico de cultivos arbóreos. La implantación de cultivos arbóreos perennes no dejó de tener repercusiones, sobre todo en forma de conversión de tierras forestales: por una parte, los campesinos tuvieron que desbrozar nuevas parcelas de selva para cultivar en ellas los productos de la agricultura de rozas y quema necesarios para la alimentación local; por otra parte, los sistemas impositivos instaurados por los holandeses propiciaron una mayor circulación de moneda, creando nuevas y mayores necesidades que indujeron a su vez una 10 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, Nn 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY intensificación de los cultivos orientados a la venta (Belsky, 1991). La tierra cobró valor y empezó a ser objeto de numerosas transacciones. Ello originó profundas transformaciones sociales en Kerinci, en especial la acumulación de bienes raíces en manos de campesinos ricos, de acuerdo con una lógica que elevaba la propiedad privada a categoría fundamental. Por lo demás, Schrieke (1955) observó ya en los años 50 una regresión de los sistemas de solidaridad agrícola y un uso cada vez más frecuente de aparceros. Todos esos cambios tuvieron profundos efectos sobre el ritmo de conversión forestal. Tras una primera ola de deforestación a principios de siglo, y recuperado ya el país de las sucesivas guerras que hubo de sufrir (II Guerra Mundial, ocupación japonesa, Guerra de Independencia), durante los años 70 se produjo una segunda fase de extensión de las plantaciones de árboles destinados a alimentar las exportaciones (Watson, 1984). Los años 70 corresponden a un periodo de notable bonanza económica en Indonesia, que coincidió con la subida del precio del petróleo y se alargó hasta 1982 (Rice, 1991). Por otro lado, durante el periodo de vigencia del segundo plan quinquenal (Repelita II: 1974-78) se construyeron en Indonesia importantes infraestructuras viarias, a la vez que los bancos ofrecían notables facilidades crediticias. Paisajeagrario actual Los tres principales sectores agrícolas del departamento (kabupaten) son: el cultivo de arroz bajo inundación (17% de las tierras agrícolas), que se localiza básicamente en el lecho del valle; cultivos arbóreos orientados la venta (77%), situados en las colinas; y cultivos anuales (6%), básicamente en la región de Kayu Aro (Scholz, 1983). En las colinas se aplican sistemas de cultivo que alternan asociaciones de cultivos perennes, principalmente cafeto (Cofia canephora var. robusta) y canelo (Cinnamomum burmani), con cultivos anuales (p.e. tabaco, patata, cebolla o tomate). Es lo que se denomina sistema m, que entraña una fase de cultivo sobre tierra quemada y que podría calificarse de sistema agrosilvícola rotatorio, con ciclos arbóreos de una duración de entre 8 y 25 años. Existen igualmente plantaciones perennes de árboles, que asocian en una misma parcela a una gran variedad de especies de edad y longevidad muy dispares. Estos sistemas se caracterizan por el carácter perenne de la cubierta arbórea y por la relativa infrecuencia del paso por una fase inicial de quema. Esos jardines silvícolas, que suelen dar cabida a un alto porcentaje de especiesforestales útiles, se conocen en Kerinci con el nombre de Q&&. Jardines familiares de pequeñas dimensiones rodean a veces las viviendas. Se trata de zonas de horticultura intensiva, con numerosas especiesde plantas tuberosas, bananos (asociadosen ocasiones con árboles frutales) y cocoteros. Esos jardines familiares reciben el nombre de halaman. El canelo: principal cultivo de exportación El cultivo del arroz El canelo, el cafeto, el hevea [árbol del caucho] y el clavo son los árboles que se cultivan en Kerinci con fines de exportación. Aunque durante la primera mitad de siglo el café constituyera el principal producto de exportación, su cultivo fue cediendo paso poco a poco al del canelo. El canelo es un árbol de los bosques submontanos de Malasia (Heyne, 1922), Camboya, Vietnam y el archipiélago indonesio (Dr. Kostermans, 1992, com. pers.). Suele crecer con facilidad en suelos drenados y emplazados a una altitud de entre 800 y 1,500 metros. Según dicen los Según Scholz (1983), el 85% de los arrozales inundados se irrigan mediante sistemas muy sencillos. Se trata en su mayor parte de arrozales situados en las zonas de bajío, alimentados únicamente por las aguas pluviales durante la estación de las lluvias (Fotografía 5). Un pequeño porcentaje de los arrozales inundados se asienta sobre terrazas, en zonas que gozan de una red hidrográfica generosa. En el valle de Merangin se utilizan ruedas de agua para transportar el agua Fotografia5. IJna mujer trabajando en un vivero de arroz. El cultivo de arroz bajo inundación se reallza en 1:er‘renos planos aluviales. W~“’ S: desde los ríos hasta los arrozales. El cultivo de arroz de secano, poco frecuente en Kerinci, se concentra básicamente en el sudeste del lago, en la región de Muak, ,y en el valle de Merangin. En 1983, Scholz estimabaque en sólo una quinta parte de los arrozales se aplicaba un sistema de doble cultivo, ya fuera con dos ciclos sucesivos de nuevas variedades de arroz de ciclo corto o con un ciclo de arroz y otro de cultivo intercalado de hortalizas. En el 80% restante crecían variedadesclásicas de arroz de ciclo largo, que deparaban una sola cosecha anual. Desde entonces, sin embargo, y a raíz del programa piloto de intensificación de los arrozales que dio comienzo en 1983, la situación viene cambiando con rapidez (Ampt-Riksen y van de Ven, 1992). En los últimos diez años numerosas aldeas han modificado parcialmente sus sistemasde cultivo arrocero, y tales cambios no han tocado todavíaa su fin. En suma, y teniendo en cuenta los cambios ocurridos en los últimos años, es difícil evaluar la proporción de variedades clásicas (de ciclo largo) y variedades mejoradas (de ciclo corto) que conviven en el conjunto de arrozales de Kerinci. campesinos de Kerinci, el cultivo de canelos a pequeña escala, e incluso también la explotación de ejemplares silvestres, viene practicándose en el valle desde hace mucho tiempo. En los años 70, el equivalente de un 63% de la canela de Sumatra provenía ya de Kerinci, lo que hacía de esta región uno de los principales centros exportadoresde canela del archipiélago (Rismunandar, 1989). Para extraer la corteza del canelo es preciso talar previamente el árbol (Fotografía 6), que por otro lado suele rebrotar con facilidad. Aunque a partir de los 5 años de edad el árbol ya está maduro para la recolección de su corteza, el campesino puede esperar hasta 25 años antes de explotarlo, siempre que no necesite dinero con urgencia. Los precios de venta de la corteza oscilan en función de la posición del fragmento en el tronco, y aumentan proporcionalmente a la edad del árbol (Fotografía 7; Cuadro 1). Este holgado margen de maniobra con respecto al periodo de recolección explica la gran diversidad que presentan en Kerinci los modos de explotación del canelo. En función de su estrategia agrícola DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY ll general, los campesinos eligen distintas densidades de plantación, distintas asociaciones con otras especiesy distintos periodos de rotación (Savouré, 1990). Mientras esperan que la canela madure, la presencia de cafetos u otros árboles o la de cultivos anuales les garantizan un mínimo de ingresos. De 1983 a 1990, el precio de la canela vendida en Kerinci aumentó desde 350 rupías/kg (precio del arroz = 115 rupías/kg) hasta 2.700 rupíaslkg (precio del arroz = +/- 600 rupías/kg). Esta subida equivale a un aumento relativo del 50% entre 1983 y 1990. Semejante incremento explica el auge de la plantación de canelos, que no hizo más que Fotografía 6. Los canelos son talados antes de extraer su corteza. Cuadro 1. Espesory origen de las distintas categorías de corteza de canela. CAT. PARTE DEL ARBOL ESPESOR (MM) KM TRONCO (25 AÑOS) KF TRONCO (18-25 AÑOS) 5-10 3-5 RAMAS (>25 AÑOS) KA1 TRONCO (15-18 AÑOS) 2.5-3 RAMAS (>20 AÑOS) KA TRONCO (8-l 5 AÑOS) 1.5-2.5 RAMAS (15 AÑOS) Cuadro 2. Evolución de la superficie plantada de canelos (en hectáreas)entre 1966 y 1972. (Fuente: Rismunandar, 1989) AÑO 12 PROVINCIA DEPARTAMENTO DEPARTAMENTO SUMATRA OESTE KERINCI SUR TAPANULI TOTAL 1966 7 598 5 950 641 14 189 1967 8 437 5 950 643 15 057 1968 19 601 6 327 550 26 478 1969 9 012 17 727 550 27 289 1970 6 554 23 336 650 30 540 1971 6 852 24 000 558 31 410 1972 ? 27 534 ? ? DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de represenfación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY KB RAMAS (TODAS EDADES) KC RAMAS Y RAMITAS 1 acentuarse durante los años 70, cuando los monocultivos de clavo fueron diezmados por la Sumatra Disease, enfermedad bacteriana que ataca el sistema radicular del árbol. El gobierno indonesio había realizado importantes campañaspara fomentar el cultivo del clavo durante los años 50 y 60. Según Belsky (1991), en las aldeas del norte del valle algunos campesinosposeíanmás de 1.000 árboles del clavo, que fueron sustituidos por canelos. El cultivo del clavo se reduce hoy a unos pocos árboles dispersose integrados en sistemasagroforestales. En los años 70, Estados Unidos importaba más del 65% de la canela indonesia, lo que a la sazón representabaunos ingresos para Indonesia del orden de 5 millones de dólares (Ardha, 1974). Esa canela se destina básicamente a las industrias farmacéutica, cosmética y alimentaria, en especial a la fabricación de Coca-Cola. El Cuadro 2 muestra la evolución de la superficie plantada de canelos en Sumatra entre 1966 y 1972 (Rismunandar, 1989). Entre 1984 y 1989, la superficie plantada de canelos en Kerinci creció en 6.000 hectáreas (Cuadro 3). El cuadro siguiente (Cuadro 4) da una idea de la importancia relativa (en términos de superficie) de los distintos cultivos 0 orientados a la venta que existen en Kerinci. Cuadro 4. Uso del suelo en Kerinci por sectores de actividad agrícola. (Fuente: BAKOSURTANALy BAPPEDA,1990) Cuadro 3. Evolución de la superficie plantada de canelos y de su producción en el departamento de Kerinci entre 1984 y 1988. (Fuente: Kantor Perdagangan Kabupaten Kerinci) USO DE LA SUPERFICIE PORCENTAJERESPECIO DEL TIERRA (HECTAREAS) TOTAL DE TIERRASDEL DEPARTAMENTO ARROZALES ALDEASYCONSTRUCCIONES CANELA AÑO SUPERFICIE PRODUCCION (HECTAREAS) (TONELADAS) CAFÉ 25075 2 135 5,97 0,51 107300 28,41 12 588 3,00 1984 36 673 5 116 CANELA-CAFÉ 6865 1,63 1985 36 766 5 737 TE 2620 0,62 1986 36 806 6 025 MEZCLADE CULTIVOS 3625 0,87 1987 40 608 11 515 1988 41 625 13 011 1989 42 577 13 01 CAUCHO CULTIVOS ANUALES TIERRA NO CULTIVADA PANTANOS LAGOS Fotografía 7. Las cortezas de canela se clasifican según la posición que ocupaban en el árbol y la edad dela corteza. SELVA 550 0,13 7 773 1,85 27847 6,55 670 0,16 5 140 1,22 205797 49,00 La protección de1medio natural considerada desdela óptica de las representacioneslocales Losantepasados,la selva, las fuentes,los,ríos y el cultivo del arroz El análisis de las representaciones de la selva y de otros elementos cardinales del paisaje (montañas, fuentes, lagos y ríos) ayuda a esbozar una primera aproximación al sistema de valores sobre el que reposan, en esta región, las relaciones entre el ser humano y la naturaleza. Según refiere la tradición oral, los primeros hombres que arribaron a Kerinci andaban a la búsqueda de una tierra donde las fuentes siempre manaran, aun durante la estación seca, y tal era la imagen que de esta región montañosa tenían los habitantes de la costa occidental. La búsqueda de tierras donde cultivar arroz bajo inundación era, en efecto, una de las preocupaciones básicas de aquellos inmigrantes, venidos de una región donde esa técnica de cultivo gozabaya de gran difusión. De hecho, las laderas del valle de Kerinci abundan en riachuelos cuya fuente se oculta en el interior de las frondosas montañas. Las leyendas de Kerinci evocan un periodo en que el lago cubría todo el lecho del valle. Abstracción hecha del ámbito de lo legendario, es obvio que las condiciones geomorfológicas del valle (con abruptas escarpaduras, una gran cuenca fluvial y un lecho muy plano) son efectivamente propicias a las inundaciones. DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N”3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY En Kerinci, según Verstappen (1973), la deforestación ha ido acentuando los fenómenos de inundación: torrentes crecidos, muy caudalosos, arrastran hacia el fondo del valle los suelos, cuya erosión se ve facilitada por la deforestación. Una vez en la llanura, los sedimentos se depositan en los ríos, reducen su caudal y levantan obstáculos que dificultan sobremanera el drenaje. No se sabe con certeza si los primeros moradores del valle eran conscientes de la relación existente entre deforestación, inundación y dificultad de gestión de los arrozales. Hoy en día, los habitantes de Kerinci otorgan una gran importancia a las fuentes (hulu air), que consideran lugares sagrados (keramat, sakti). Saben que una gestión óptima del agua exige conservar y proteger las zonas situadas aguas arriba, lo que a un tiempo asegura un abastecimiento regular y ayuda a controlar el riesgo de inundación. A través de mitos y leyendas que refieren uniones míticas entre hijas del bosque y los primeros colonizadores de la región (véase Recuadro 1) se revela una de las primeras formas de apropiación del medio forestal. Este mito fundacional, que reaparece con algunas variantes en la mayoría de las aldeas del valle, sitúa la morada de aquellas mujeres en la cima de las montañas. De esta manera los habitantes ganaron simbólicamente acceso al agua, un recurso vital para la producción de arroz. Por otra parte, arrogándose la condición de nietos de aquellos seres sagrados (orang sakti / keramat) que son los ti, los habitantes de Kerinci se vinculan a su nueva tierra. En lo sucesivo se representarán la selva como el hogar de sus difuntos antepasados,que residen en él junto a los habitantes nativos del lugar. En las representaciones locales de la naturaleza se estableceasí una filiación entre los antepasados,la selva, las fuentes, los ríos y los arrozales. En la práctica se observan hoy numerosos indicios que dan fe de esta preocupación por preservar las fuentes y, en términos más generales, las zonas situadas aguas arriba: l Ciertos tabús prohiben talar los bosques alrededor de las fuentes y las resurgencias. l En ciertas aldeas donde el suministro de agua es escaso debido a la poca entidad de la red hidrográfica, hay que proteger la vegetación que flanquea los ríos, al igual que se protege la selva en lo alto de las colinas y en las laderasdemasiadoabruptas. l En el centro de tierras agrícolas se conservan selvas de propiedad comunitaria, situadas por lo general en las pendientes de las cuencas que alimentan los principales riachuelos de la aldea. 1. Historia de Putri IWuning Dayang Gadis y Segindo Kuning Crbnica referida por Rapak Hadji Riffaudin en Jujon, octubre de 1990. rSegindo Kuning, nativo de Pagar Ruyung, del país minangkabau, lleg6 al emplazamiento actual de la aldea de Jujun muchoantes de que ningún otro habitante se estableciera en el lugar. Instaló su campamento en la desembocaduradel río Jujun. Un día, mientras se aseaba,recogib del río un limón (limau purut) que la corriente había arrastrado hasta allí. Otro día recogió un segundo limón, esta vez cortado por la mitad. Aquel hallazgo le produjo gran turbación, pues las mujeres usan con frecuencia los limones para lavarse el cabello. Aquello significaba que había una mujer aguas arriba. Al tercer día encontró un nuevo limón, largo y ovalado... Convencido de la existencia de esa mujer, resolvió partir en su búsqueda. Decidió remontar el río hasta su fuente en dirección de la selva virgen (rimba ~!y& siguiendo el curso del río Jujun. Atravesó así selvas “espesas” jamás holladas por hombre alguno. Un día, desfallecido tras 30 jornadas de dura caminata, dio en tenderse bajo una gran higuera, un kavu aro rimbun daun (higuera de follaje denso). Acudió entonces a su sueño una mujer de gran belleza llamada Putri Muning Dayang Gadis, quien le anunció que no estaba lejos de la fuente donde ella moraba. Segindo Kuning despertó y, despuésde lavarse,prosiguió su camino. Llegó a la fuente muy fatigado, y se sentó para descansar.Entonces oyó una voz que venía acompañada de un perfume muy suave y le conminaba a regresar al árbol donde había dormido. De vuelta a dicho lugar, el árbol había desaparecido y encontró en su lugar su canasto de bambú con los tres limones que había olvidado. Regresó a la fuente y allí permaneció durante 30 días, con la esperanza de encontrar a la mujer. Transcurrido ese tiempo, oyó de nuevo la voz de Putri Muning, pidiéndole que buscara junto a la fuente un limón cortado en dos pedazos. Tomó el limón y se lavó con él. Putri Muning le pidió entonces que construyera un puente entre él y la cima de la montaña donde ella se encontraba. “iCómo hacer tal cosa?“, preguntó Segindo Kuníng. “Tú estás ahí arriba, tranquilamente instalada en la higuera, y no veo forma de llegar hasta ti”. Ella le pidió entonces que lanzara el limón largo y ovalado que encontrara en la desembocadura del río Jujun, y arrojó al mismo tiempo hacia él un limón pequeño y redondo. El encuentro entre ambos limones se convirtió en un puente de ratán que permitió a Segindo Kuning llegar hasta Putri Muning. Se casaron y tuvieron muchos hijos . Así se fundó la aldea de Jujun.» El ejemplode un bosque de propiedadcomunitaria El bosque de Temedak, propiedad de la aldea de Keluru, ilustra un modo de gestión de los recursos naturales que permite comprender lo que los campesinosentiendenpor consentacióndel medio natural. Se trata de un lugar sagrado en el que vivió uno de los ancestros fundadores de la aldea. Es una selva comunitaria cuyo control es responsabilidad de los jefes consuetudinarios, que gestionan también la explotación de sus recursos, abundantes y reveladores del provecho que los campesinos obtienen aún hoy de la recolección de productos forestales (Anexo 1). No está permitido talar árboles sin autorización de la autoridad consuetudinaria, ni poner a la venta producto alguno procedente de esa selva. Pisotear esa zona puede ser castigado con una multa, y el infractor obligado a replantar árboles. El chamán detenta una gran autoridad sobre la vida social del pueblo, pues tiene acceso a las plantas medicinales (Fotografía 8) gracias al contacto que mantiene con el espíritu ancestral de esebosque, que se manifiesta en forma de tigre (Aumeeruddy y Bakels, pronta publicación). Esa persona controla asimismo las tierras de la aldea, y en calidad de autoridad tradicional desempeña un papel de gran importancia, sólo subordinado al del jefe de la aldea, que representa a la administración indonesia. Sus vínculos privilegiados con el bosque le confieren indirectamente una gran autoridad para mediar en los conflictos relativos a las tierras de colina o a la asignación de las rotaciones de uso de las parcelas arroceras. Por otra parte, y dado que el bosque se encuentra en una colina flanqueada por sendos ríos, que son los más caudalososdel territorio de la aldea, los habitantes saben que su conservación redunda igualmente en la protección de las aguas que alimentan los arrozales del pueblo. Así pues, el bosque comunitario cumple simultáneamente: Una función económica (productos múltiples). Una función religiosa (conservación del vínculo con el espíritu ancestral). l Una función social a través del chamán, que goza de gran ascendientesobre los habitantes. l Una función medioambiental de la que son muy conscientes los habitantes, a saber: la conservación de la cubierta forestal para salvaguardarlas fuentes y los ríos. De este conjunto de funciones ligadas a la selva nace la lógica que los campesinos aplican a la conservación y la gestión de los recursos naturales. La protección a largo plazo de esosrecursos depende l l Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 15 ratanes, fibras de palma, maderas de construcción, bambús, etc. (Anexo 1). Las representaciones locales no entrañan ninguna ruptura entre las actividades de subsistencia, el vínculo espiritual que liga a los hombres con sus ancestros y los usos sociales que de ahí se derivan. Esta concepción integral de la gestión del entorno está reñida con ciertos objetivos oficiales de protección, en aras de los cuales se prohfbe a los habitantes autóctonos penetrar en la selva y servirse de sus productos. La prohibición de utilizar las tierras forestales debilita los lazos sociales que vinculan a los hombres con la selva, y reduce el valor utilitario de ésta. El bosque se convierte así en un recurso susceptible de uso y abuso. La única forma de evitarlo sería convertir los espacios protegidos en tierras útiles para el campesino, que además debería controlar , parcialmente su gestión. Como observa Watson (1991), en ausencia de jefes de linaje o clan, los dukun (curanderos o chamanes) intervienen de forma decisiva en la organización de las sociedades de tipo indiferenciado. Ejercen de intermediarios ante el mundo de lo ancestral, y ocupan por ello un lugar de privilegio en la vida social de la aldea. Siendo los habitantes del pueblo que mejor conocen la selva, los dukun expertos en productos forestales deberían constituir interlocutores o colaboradores privilegiados para las autoridades gestoras del parque. Paraestablecerrelacionesde colaboraciónfecundas con las comunidades autóctonas es preciso definir cuáles son los interlocutores preferentes. En este sentido, una comprensión cuanto mas exactamejor de su organizaciónsocial permitirá identificar dentro de las instituciones autóctonas a las personas con poder de decisiónen todo lo tocantea la gestión de los recursos. Fotografía 8. Un dukun (curandero o chamán) recogiendo plantas medicinales en el bosque de propiedad comunitaria de la aldea de Keluru. de una gestión comunitaria cuyo control compete a las instancias administrativas locales. Los campesinos no ignoran que la conservación de la selva les reporta claros beneficios económicos, pues extraen de ella numerosos productos útiles como 16 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Polivalenciadel árbol en las explotacionesagrícolas Hay muchos árboles forestales que son incorporados a las tierras agrícolas. Numerosas especiesforestales útiles regeneran de forma espontáneaen los jardines, en cuyo caso su presencia y crecimiento serán no sólo protegidos sino favorecidos. Una encuesta EI4 carácter iOS a lo iurp del tiempo la con especies , cuyos uso shant para a daptarse a cutnbi&tes de la sociedad. 1 realizada en los jardines agrosilvícolas de Jujun y Keluru reveló que la mitad de las especies arbóreas cuyo crecimiento se protege activamente son de origen forestal y regeneran espontáneamente (Anexo II). Múltiples son los usos que se dan a tales árboles, entre otros: alimentario, técnico, medicinal y uso de su madera como material de construcción. Entre los árboles de uso alimentario figuran numerosos frutales, leguminosas arbóreas (cuya semilla representa una importante fuente alternativa de proteínas en la dieta local) y otros árboles de los que se extraen condimentos; De las especies frutales se extrae también en ocasiones madera de construcción, por ejemplo el durian (Durio zibethinus) y los Baccaurea sp. Su corteza puede poseer igualmente propiedades medicinales, como ocurre con la corteza de lawsat (Lansium domesticum) y la de manggis (Garcinia mangostana). La realización de un análisis diacrónico permite detectar los usos principales de los árboles y comprender mejor el papel que desempeñan actualmente en el paisaje agrario. Hemos elegido centrarnos aquí en los árboles destinados a un uso toponímico, esto es, cuya función es la de marcar el espacio. Todo indica que esta función es una de las razones de la integración del árbol dentro de las explotaciones agrícolas. Además de su papel de “jalones” o señalizadores de límites, esos árboles ejercen, como veremos, muchas otras funciones. El carácter polivalente de los árboles ha facilitado a lo largo del tiempo la conservación de muchas especies,cuyos usos han evolucionado para adaptarse a las necesidades cambiantes de la sociedad. Arboles que señalizan el territorio 9. Mangifera applanata Kosterm. (Anacardiaceae), mango salvaje utilizado como jalón para señalizar las lindes Fotografía de la selva comunitaria de Keluru. Una gran duración o facilidad para la regeneración En esta categoría se inscriben diversas especiesforestales como Ficus sumatruna (kavu aro lebar daun), Ficus benjumina (pohon beringin) o Baccaurea javanica (kavu nasat berlantak emas), así como numerosas especies de bambú. Hay otras especies que es necesario plantar, dado que no forman parte de la flora local. Tal es el caso, entre otras, de Cordyline fruticosa (jeluang), Erythrina variegatu (&&Q) e Hibiscus tifiuceus (pohon baru), utilizadas para señalizar los límites de jardines por la gran facilidad que presenta su reproducción a gran escala mediante esquejes sujetos a estacas. Esos árboles se caracterizan por el vistoso colorido de su follaje o lo exuberante de su floración. Hibiscus l vegetativa. El espacio rural abunda en nombres de lugares que aluden a la presencia de determinados árboles que en ellos hay o hubo. Estudiando la toponimia de la aldea de Jujun, Fedensieu (1992) comprueba que ciertos árboles situados en’lugares clave delimitan la frontera con la aldea vecina. La presencia de esos árboles guarda relación con leyendas ligadas a las acciones de los ancestros fundadores y a las aventuras de los jefes tradicionales. El análisis de las distintas especiesque ejercen de señalizadores (Aumeeruddy, 1993) pone de relieve ciertos rasgos que las hacen especialmente aptas para tal función: Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 17 tiliaceus es un árbol con hojas caducasasincrónicas, que, al atravesar diversasfasesde coloración entre el amarillo y el, naranja, resultan visibles a gran distancia en cualquier época del año. Sus hojas jóvenes tienen propiedades curativas; su corteza se utiliza para la fabricación de correas y cordajes; y la hoja se usa a menudo para envolver alimentos. Algunos son árboles de un tamaño enorme, lo que les confiere un valor utilitario particular (Fotografía9). Ejemplo de ello pueden ser los siguientes:Mungifera appZanataKosterm. (pohon nauh), mango salvajeque da un fruto ácido muy apreciadoy presta su nombre a muchos lugares del valle; Palaquium macrocarpum (ti), con un fruto muy aromático y de pulpa cremosa; o Acrocarpus fraxinifolius (meluang), árbol muy apreciado por su madera, idónea para la fabricación de piraguas que se excavan en el propio tronco. Dado su carácter eminentemente forestal, estos árboles constituyen indicadores óptimos de la apropiación de tierras en explotaciones agrícolas, donde su presenciano puedepasarinadvertida. Especies a las que la leyenda atribuye carácter u origen antropomórfico. La carga simbólica de tales especies deriva en general de sus numerosos usos económicos o sociales. Los dos árboles más destacados en este sentido son la palmera de azúcar, Arenga pinnata (enau / aren) y la areca o betel, Areca catechu (pm). Los bambús pueden entrar asimismo en esta categoría de especies de gran interés económico y social a las que vienen ligadas ciertas leyendas. Veamos a continuación un ejemplo de interacción entre representacionessimbólicas, uso y prácticas sociales. Hay un relato que atribuye origen antropomórfico a la areca (m), que según esa tradición es producto de la transformación de un joven en palmera a raís de un desengaño amoroso (Aumeeruddy, 1993). La areca se utiliza para las peticiones de mano: los jóvenes deben presentar un fruto de esapalmera (p&a& a los padresde la futura esposa.La palabra meminang, que deriva de pinan$ designa el acto mismo de pedir la mano. Aunque no siempre se utilice ya el fruto de la palmera en tal contexto, la influencia de esa costumbre ha marcado el lenguaje, que recurre todavía a la palabra meminang en tales circunstancias. El protagonismo de esa palmera en las prácticas sociales (ofrendas, nueces que se mastican con hojas de areca) le confiere una gran importancia como jalón. Plantada en hileras en las lindes de los jardines, constituye un indicador tan discreto como eficaz, que hace innecesarias las barreras y no dificulta la comunicación entre habitantes de jardines vecinos. l l Evolución de los usos La evolución de los usos de los árboles refleja la forma en que la sociedadva adaptandodichos USOSa las circunstancias externas. La concepción 18 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, NO 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en ta penteria del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY polivalente del árbol (producción de fruta, corteza y madera, usos medioambientales -sombra, abono de la tierra-, etc.) denota una percepción global de la planta que da lugar a una gran flexibilidad de utilización a lo largo del tiempo (en contraste con la tendencia más moderna consistente en asignar a los árboles un solo cometido, básicamentela producción frutera o maderera). El canelo brinda un buen ejemplo de evolución de los usos: tradicionalmente los habitantes autóctonos se servían sólo de sus hojas y, en menor medida, de la corteza, que en el siglo pasado se vendía en muy pequeñas cantidades. Los circuitos comerciales han hecho de ese árbol el producto estrella de Kerinci en términos de mercado. La madera de canelo es ahora la principal fuente de leña del valle. Los dos ejemplos siguientes ilustran también la evolución que experimentan los usos de los árboles: Bischofia juvanica (pohon bintung): a principios de siglo, este árbol de selva secundaria era protegido y conservado en virtud del tanino que su corteza contenía, utilizado para embadurnar canastos de bambú, otros objetos de cestería o redes de pesca. Aunque ya ha dejado de explotarse para la producción de tanino, sus muchos usos medicinales y su gran capacidad de rebrote, y por tanto de producción de leña, explican que los campesinos sigan protegiéndolo. Toona sinensis (surian): según los más viejos del lugar, este árbol, que brota espontáneamenteen los claros de la selva, no era antaño más que una especie residual cuya presencia en los ladang obedecía únicamente a las cualidades culinarias de sus hojas. Hoy su cultivo está en auge debido a las restricciones que pesan sobre la obtención de maderas de construcción dentro del parque. Su rápido crecimiento y la buena calidad de su madera confieren a esta especie un interés silvícola mayor que el de otras maderas de construcción de mejor calidad pero de crecimiento demasiado lento. Actualmente la presencia de sus hojas en la dieta resulta poco menos que testimonial. l l Labiodiversidaddesdela ópticadel campesino La noción que de la diversidad biótica tienen los científicos y naturalistas es deudora ante todo de la clasificación de los seres vivos establecida por Linneo. Los trabajos de muchos autores, entre ellos Lévi-Strauss (1962), Conklin (1954), Berlin et al. (1974), Revel (1990) y Friedberg (1990), demuestran que las sociedades“tradicionales” poseensus propios sistemas de clasificación. Estos sistemas emanan de una “ciencia de lo concreto” (Lévi-Strauss, 1962) forjada por las costumbres y por las relaciones que el hombre ha establecido con el mundo de lo orgánico durante largo tiempo en ámbitos tan diversos como la religión, la organización social, las necesidadesde subsistencia o las relaciones comerciales. Los sistemasde clasificación se basan pues en el binomio formado por la representación del mundo natural y los usos cotidianos. Entre los modos de clasificación que se observan en Kerinci destacauna neta división de los vegetales en plantas calientes y frías, ligada a las representaciones simbólicas generales del medio natural. Este modo de clasificación atribuye igualmente a todos los elementos del medio (orgánico o inorgánico) una cualidad de caliente o frío. El agua se asocia al frío. Los ríos, las fuentes y las tierras de bajío inundadas son, por consiguiente, elementos “fríos”, al igual que las plantas que los acompañan (arroz, plantas adventicias de los arrozales, vegetación ribereña, etc.). También se consideran plantas frías aquellas cuyas raíces, hojas o frutos son carnosos 0 acuosos. Un suelo será tanto más caliente cuanto más seco se encuentre, 0 cuanto más incapaz de retener la humedad sea su estructura. Según esta clasificación, un suelo negro (tanah hitam) rico en humus es un suelo “frío”, mientras que un suelo laterítico lixiviado (&-&i merah) es “caliente”. Tanah lembuk kering (kering significa “seco”) designa un suelo “caliente”, sin arcilla o limo y de estructura harinosa durante la estación seca, por oposición a tanah lembuk basa (lembuk significa “húmedo”), suelo “frío” que forma pequeños grumos en la estación seca,indicio de que contiene arcilla y retiene cierta humedad. Este segundo tipo de suelo se supone más fértil. Las representacionescrean así un nexo entre lo húmedo, lo frío y lo fértil. Enriquecer un suelo abandonándolo al rebrote de Eupatorium inulifolium, una de las plantas “frías”, es una técnica destinada a enfriar el suelo. En este mismo orden de ideas, la sombra de los árboles es percibida como algo beneficioso para los suelos. Los vegetales con un sabor ácido se clasifican asimismo como plantas “frías”, al igual que las especies de perfume fuerte y duradero (numerosas especies de albahaca, Ocimum spp. y de la familia Zingiberaceae). Por otra parte, la noción de frío y caliente es relativa. Considerado individualmente, cada vegetal tiene partes mas o menos frías: los retoños, las hojas jóvenes y las hojas muertas son en general más “frías” que las hojas que han completado su crecimiento. De ahí que para las mixturas medicinales o la preparación de alimentos se recurra más a menudo a los brotes y las hojas jóvenes. Las hojas muertas de Areca catechu se utilizan en los rituales de enfriamiento de los arrozales, y las de durian (Durio zibethinus) son un ingrediente de los polvos cosméticos (m) destinados a “enfriar” la piel. Aunque Dendrocnide stimulans (jm) es considerada una planta “caliente” por su naturaleza urticante, la savia de sus raíces es “fría” y tiene propiedadescurativas. Las plantas calientes son aquellas que presentan características urticantes (látex u hojas irritantes) o un aroma muy picante como el del canelo o el árbol del clavo. Son plantas que desprenden una esencia caliente (zat oanas), rasgo que las distingue de otras plantas perfumadas frías como Ocimum. Las plantas espinosas, así como las que ejercen un efecto desecante sobre el suelo (p.e. Imperata cglindrica, alar& alar&, son también plantas calientes. La clasificación de las plantas en frías y calientes tiene implicaciones en ámbitos muy diversos, entre ellos los siguientes: l La medicina local y la alimentación. A las plantas llamadas frías se atribuye valor terapéutico. Su presencia en los jardines es bienvenida y protegida, lo que se traduce en una gran abundancia de variedades y especies utilizadas con fines muy diversos. Así, por ejemplo, los limones están presentes en la dieta (como condimento), la medicina (en cuyas preparacionesse incluyen, ya sea alternativa o simultáneamente, diversas especies o variedades), los rituales de enfriamiento de las nuevas viviendas o las mezclas de plantas medicinales destinadasa mantener los arrozales libres de parásitos. La clasificación tradicional distingue doce especies distintas de cítricos, entre ellas varias especiesforestales (marcadas con un * en el cuadro del Anexo III). También dentro de la familia Zingiberaceaese observaun amplio abanico de usos, habida cuenta del valor curativo y la versatilidad alimentaria de muchas de las plantas que la integran (Anexo III). Señalemosaquí la inexistencia de límites claros entre medicina y alimentación. Es frecuente, por ejemplo, que plantas frías como la cúrcuma [azafrán de la India] (Curcuma longa) o el limón se utilicen a la vez en la cocina y en el ejercicio de la medicina tradicional. 9 Las técnicas agrícolas. A las plantas llamadas frías se atribuyen propiedades fertilizantes. Las especies de madera blanda, que contienen agua y se pudren con rapidez, son tenidas por plantas frías y fertilizantes. Entre tales especies se cuentan Ficus alba (m), eritrinas como Ergthrina variegata y Erythrina subumbrans (&& y cengkring), el árbol capoc o Ceiba pentandra, Aleurites moluccana (kemiri), los papayos y los bananos. Las plantas de fruto acuoso, como las cucurbitáceas Benincasa hispida (kundur), Cucumis sativa (timun) Luffa > Cucurbita moschata (m), acutangula (ti), Sechium edule (labu Siam), etc. recubren el suelo y ejercen sobre él un supuesto efecto enfriador. Ciertas familias (las Asteraceae,por ejemplo) son objeto de protección, especialmenteen las primeras fases de creación de un ladang, por su carácter de plantas “frías”. Tras el desbroce y la Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 ruralesde representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 19 20 quema de su parcela, el campesino permitirá de buen grado que los rebrotes de Crassocephalum crepidoides (ti), Bidens pilosa (jambing oauh) o Eupatorium inulifolium (bunga rinvu) revistan el suelo. Despuésplantará especiesfrías como bananos, papayos o eritrinas varias, que por su rápido crecimiento se adueñarán pronto del terreno y proyectarán en él su sombra. aplican otros sistemas que ordenan las plantas con arreglo a criterios funcionales 0 morfológicos (Aumeeruddy, 1993). En todos los casos, tales criterios se basan en las representacionesdel medio natural propias del campesino y, sobre todo, en el uso de las características vegetativas de la planta, y sirven para poner de manifiesto la diversidad del mundo vegetal. El abanico de criterios indígenas de Un segundo tipo de clasificación basada en representacionessimbólicas divide el mundo vegetal en plantas macho y plantas hembra, según criterios tales como el grosor del fruto, la longitud de los entrenudos, el grado de pilosidad de las hojas, etc. El campesino distingue así pequeñas variaciones morfológicas entre especies o variedades emparentadas que crecen y son protegidas en los jardines. Para una especie concreta, Michelia champaca por ejemplo, el campesino distingue entre la variedad macho (semulun tanduk), caracterizada por hojas grandesy pilosas de jóvenes y por el fino jaspeadode su madera, y la variedad hembra (semulun padi p&i), con hojas pequeñas,lisas cuando son jóvenes, y una madera de color beige uniforme. Las dos variedades se destinan a usos distintos: dada la superior dureza de su madera, la primera se emplea preferentemente en construcciones de exterior. Otra especie de madera de construcción, Actinodaphne sesquipedahs,posee una variedad hembra con hojas más pequeñasque la variedad macho y hojas jóvenes rojas y lampiñas. En este segundo caso, los taxónomos distinguen igualmente una variedad lisa de Actinodaphne sesquipedalis (que corresponde a la variedad hembra), aunque tal cosa no ocurre con otras especies que el campesino subdivide en diversas variedades aún no catalogadas científicamente. Los sistemas que clasifican las plantas en frías y calientes, o en machos y hembras, no son los únicos que utilizan los campesinos de Kerinci. También se clasificación difiere pues de los principios morfológicos propios del sistema linneano, que concedeun gran peso al aparato floral. Tras examinar someramente algunas representaciones globales del medio natural, y más concretamente de la selva, así como algunos modos de clasificación de las plantas, nos es más fácil entender la forma en que se organiza la matriz de conocimientos en esta sociedad y aprehender las relaciones existentes entre representaciones y usos 0 costumbres. Las autoridades gestoras del parque no deberán pues olvidar que los sistemas indígenas de clasificación son elemento ineludible para el éxito de toda iniciativa de ordenación de las zonas periféricas del parque que entrañe algún tipo de colaboración con la población local. En el capítulo siguiente abordamos el estudio de las zonas agrosilvícolas, que nos permitirá comprender cómo el campesino asocia en el tiempo y en el espacio los diversos elementos que integran el ecosistema, teniendo en cuenta factores ecológicos tales como la luz 0 la competencia entre especies. Los jardines agrosilvícolas son sistemas que aúnan, a su papel productivo, una serie de funciones sociales. Nuestra intención es la de estudiar cómo el campesino aplica concretamente su conocimiento de las plantas, la función que atribuye a éstas según su contexto sociocultural y las respuestasy estrategias que adopta ante factores externos fluCtuantes (entorno natural, acceso a los recursos o vías de .> comercialización). DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3. NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Sistemasagrosilvícolas + de Kerinci: fundamentos y dinámicas Elementosmetodológicos parael estudiode los sistemasagrosilvícolas Para comprender la dinámica agroforestal es esencial estudiar la relación entre cultivos agrícolas (sobre todo el del arroz) y sistemas agrosilvícolas (Stoler, 1978; Mary, 1987; Belsky, pronta publicación). La elaboración de un esquema de los usos del suelo, ya sea mediante una secuencia topográfica 0 por simple cartografía, constituye un recurso especialmente poderoso para situar el sistema agrosilvícola en el seno de la explotación agrícola. Ello permite visualizar los distintos elementos que componen el sistema (Figura 3). A partir del esquema será posible estudiar las categorizaciones locales, el lugar que ocupa el sistema agrosilvícola dentro de la explotación o su relación con ciertas características del medio natural (naturaleza del suelo, orientación y desnivel de las pendientes, etc.). Un esquema como el mencionado, en suma, resulta de gran utilidad para efectuar una lectura del paisaje, elemento básico para empezara trabajar. Los sistemas agrosilvícolas constituyen uno de los elementos del sistema agrario y del sistema productivo. No cabe pues abordar su análisis haciendo abstracción de este contexto general. El análisis de la vegetación en cada parcela se lleva a cabo con ayuda de perfiles arquitectónicos. El igoI Aldea y arrozales. Altitud: 800 m Figura 3. Esquema representativo IIl 1 I I análisis arquitectónico forestal (Oldeman, 1974) aplicado al estudio de los agroecosistemas (Michon ef al., 1983) se ha demostrado en efecto muy útil para comprender el funcionamiento ecológico de los sistemas agrosilvícolas con estructura de tipo forestal. La representación esquemática de cada árbol, sumada a sus medidas (altura, diámetro y altura de la primera rama principal) y a la proyección cartográfica de la copa sobre el suelo, permite reproducir en dos dimensiones la situación exacta de cada árbol con respecto a los demás. Esta herramienta visual posibilita un análisis espaciotemporal de los diversos conjuntos estructurales, que no son otros que los distintos estratos de vegetación, asimilados, cuando se trata de sistemas agrosilvícolas, a conjuntos &laJ. Altitud: 800 - 1.000 m II I I I , I I il w. Altitud: 1.000 - 1.200 m 1 Selva I I del uso de la tierra en la aldea de Jujun. Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3. NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 21 comprenden únicamente los árboles productivos, que se determinan, en el momento de trazar el perfil, encuestandoal campesino. Conociendo los modos de crecimiento, es posible prever la evolución futura de los árboles, así como el lugar que ocuparán dentro de los diversos conjuntos productivos. Los árboles del futuro, incluidos igualmente en el esquema, son árboles jóvenes no productivos cuya posición en la estructura agroforestal permite anticipar la evolución del sistema agrosilvícola. A imagen de la selva, donde un árbol viejo puede caer y crear una calva, en los sistemas’agroforestales se corta un ejemplar viejo y no productivo para crear un nuevo espacio capaz de acoger a especies heliófilas o simplemente favorecer el crecimiento de los árboles del futuro (Michon, 1985). El uso del perfil facilita, en definitiva, el estudio de la parcela agroforestal desdeun punto de vista dinámico. Sistemasagroforestales básicamente frutícolas.La gestiónde un recursoraro y frágil: el suelo En la aldea de Semerap, junto a la orilla occidental del lago Kerinci, la forma utilizada para conservar accesoa la tierra es la plantación de árboles útiles en sistemas agrosilvícolas de tipo p&&, lo que además permite una gestión duradera de los suelos de colina, que en esta parte del valle son frágiles (ultisoles e inceptisoles muy sensibles a la erosión en zonas de fuerte pendiente). La Figura 4 presenta un diagrama del uso de la tierra en la aldea de Semerap. En Semerap, las tierras de colinas (que lindan al oeste con la cordillera de Barisan) resultan escasas, considerando sobre todo la elevada densidad de población de la aldea (332 hab/km2). (En 1990, la población de Sumatra ascendía a 37 millones de personas [Anónimo, 19901, y el promedio de densidad de población era de 80 hab/km2). Las tierras arroceras quedan igualmente restringidas a una estrecha franja situada entre el lago y las laderas del valle. Esas tierras no gozan de la irrigación necesaria para producir dos cosechas al año. Ante tal escasez de tierras, la autoridad tradicional ha implantado un sistema de gestión colectiva que se aplica al primer tercio de las tierras de colina. Se trata de tierras patrimoniales (tanah harta uusaka) de carácter inalienable. Los campesinos a quienes se conceden parcelas de la comunidad no gozan sobre ellas sino del derecho de usufructo (hak uakai). Dicho de otro modo: el campesino es propietario únicamente del producto de los árboles que ha plantado en esas tierras. Ese derecho puede transmitirse a los descendientesa condición de que la parcela albergue todavía árboles productivos, lo que supone un claro incentivo para plantar árboles. Aunque las demás tierras de colina son de propiedad privada, la autoridad tradicional no deja de ejercer sobre ellas una estricta supervisión, que abarca diversos aspectos:está prohibido en ellas el uso del fuego, que haría peligrar el patrimonio arbóreo; es el jefe tradicional quien delimita las parcelas que se otorgan a los habitantes, en función del sentido de la pendiente y de los jardines aledaños; se definen normas específicas que regulan la tala de nuevas parcelasde selva, etc. Según los ancianos de la aldea, el acto de plantar árboles remite a un precepto de los antepasadospara mitigar el problema de la escasez de tierras. Teniendo en cuenta que la agricultura de rozas y Figura 4. Esquema representativo del uso de la tierra en la aldea de Semerap. & I l Lago 22 l 1 Aldea y arrixales / i 1 p&k. Altitud: 850 - 1.000 m I Viejos jardines en vías I [ Selva protegida en w. / de regeneración. I ’ 1.200 - 1.400 m 1 las líneas de cresta I 1.000 - 1.200 m DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY I I ( I Ladana I ’ Selva primaria quema exige una larg barbecho, y que en cuencia no es viable territorio pequeño col, ULLU densidad de población tan elevada, no sería de extrañar que la necesidad de crear jardines pluriestratificados se hubiera dejado sentir ya antes del periodo colonial holandés. Plantar árboles es el modo en que los campesinosse apropian de las tierras: las parcelas que la autoridad tradi-l.. -i: 4 cional asigna a un campesino,deben ‘,,,*,,+ contener árboles product&&; s$& pena de ser desposeídode las tierras~~;< por esa misma autoridad (v&nse las ,l reglas del Recuadro 2). Dado que la superficie total de i tierras no basta para satisfacer las : necesidadesde todos los habitantes de la aldea, se anima emigrar temporalmente. Según dictan las reglas consuetudinarias relativas a la migración, el campesino que parte en busca de trabajo no debe temer la pérdida de su derecho de acceso a las tierras, siempre y cuando se trate de cultivos perennes que no precisan de un cuidado continuo (Recuadro2). Los perfiles siguientes (Figuras 5 y 6) muestran la estructura y composición de dos jardines agrosilvícolas situados en la zona de las tierras patrimoniales de Semerap. En la Figura 5 puede observarse una acusada estratificación. Las especies que forman la bóveda arbórea son básicamente grandes durian (Durio zibethinus) y p&$ (Parkia speciosa), leguminosa arbórea de semilla comestible. En el conjunto productivo intermedio figuran numerosos árboles frutales como Lansium domesticum (langsat), Garcinia mangostana (manggis) o Baccaurea dulcis (&). En el sotobosque, por último, abundan los árboles del clavo, aunque en la mayor parte de Sumatra esta especie crezca en régimen de monocultivo y en condiciones de plena iluminación. Según afirman los campesinos,y aunque el árbol del clavo resulta menos productivo a la sombra, los riesgos de enfermedad disminuyen cuando se asocia este árbol a otras especies. Las parcelas en fase de regeneración son aquellas donde se han eliminado los árboles que constituyen la bóveda y se está procediendo a su sustitución (véasela Figura 6). El campesino planta especies heliófilas como Archidendron pauciflorum (jengkol), cafetos, bananos y especies productoras de madera de construcción como Alangium kurzii (melaku) o Toona sinensis (surian). Estas dos últimas son 2. Regias consuetudinarias relativas a la apropiación de tierras Kalau bambuh sudah bisa uenjemout ikan belut : Cuando los bambús sean lo bastante grandes como para atrapara las anguilas de los arrozales, Tandah belukar sudah tua : será el signo de que esta selva secundaria envejeció Tidak tuah tanah tersebut : y su usuario perderá entonces sus derechos sobre el jardín. Rantau jauh diulang : Partid tan lejos y tan a menudo como queráis, Tanah dekat masih dekat danau : las tierras junto al lago Hak milik orana yana menaendano : pertenecen al que las hace fructificar. especiestípicas de los claros forestales. Los árboles sustitutos son jóvenes durian, que formarán los futuros árboles de la bóveda. El conocimiento de los distintos ritmos de producción y maduración de las especies agrosilvícolas permite al campesino programar una gestión espacio-temporal de su parcela, para la cual tendrá en cuenta las exigencias ecológicas de cada especie. Estos jardines agrosilvícolas tienen una clara vocación comercial: la fruta. la semilla de las DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de tos sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 23 iom Perfil de un jardín agrosilvicolaque construccióny árbolesdel clavo. Semerap,Kerinci (2”lO S, lOl”30 E), Alt. 900 m, Y. Aumeeruddyy Syamsul Bahri, marzo 1991. -C Alangium kurzii (melaku):83 ; Claoxylonsp.: 4 ; Citrus sp.: 65 ; Coffea canephoraw: 18, 19, 20, 22, 26, 29, 52, 70, 80, 81, 93, 96, 97, 98; Durio zibethinus (durian): 38, 68, 101; Syzygiumaromaticum (cengkeh): 1, 2, 3, 5, 6, 23, 24, 25, 27, 28, 35, 37, 47,48, 49, 50, 66, 67, 69, 77, 95 ; arcinia mangostana(man@): 82, 94 ; lansium domesticum(lanasat):7, 36, 39, 78, Parkiaspeciosa(Detai):40, 51,79 ; Toonasinensis(surian):21. 24 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, Na 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Figura 6. Perfil de un jardín predominantemente frutícola en fase de regeneración. Semerap, Kerinci, Sumatra (2”lO 5, lOI” E), Alt. 900 m, Y. Aumeeruddy y SyamsulBahri, marzo 1991. Alangium kurzii (melaku): 63 ; Areca catechu (oinana): 91 ; Baccaureadulcis (cuDak):B5,99 ; Carallia brachiata w: 90 ; Citrus sp.: 13 ; Coffea canephora (&$9, 10, ll, 12, 14, 16, 17, 30, 41, 42, 43, 44, 45, 53, 54, 55, 56, 57, 71, 72,84,86, 87, 88, 102 ; Durio zibethinus (&j.&: 15, 60, 104 ; Garcinia mangostana (manggis): 103 ; lansium domesticum (lanasat): 32,46; 64 ; Archidendron auciflorum (ienakol): 34, 59, 62, 63a, 74, 89, 92; Toona sinensis(surian): 61. 73. r 0 1 20 -fo 30 40m DOCUMENTOSDE TRABAJO DE PUEBLOSY PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la. periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 25 Figura 7. Esquemade la evolución de un ti: 1. Años 1 y 2: cultivo de plantas anuales. 2. Años 3 a 8: producción de cafe. 3. Años 9 a 15: tala del canelo en la modalidad de ciclo de rotación 4. Años 9 a 25: se mantienen los canelos en caso de ciclo largo corto; se mantiene la producción de café. de monocultivo. 5. Introducción de otras especiesarbóreas; los canelos quedan relegados al sotobosque; evolución hacia una estructura de tipo p&&. leguminosas, el clavo y el café se destinan a la venta. La madera de construcción se conserva para satisfacer las necesidades familiares, aunque el excedente puede ser adquirido por pequeñas empresas comerciales. Las ramas muertas del sotobosque se recogen y utilizan posteriormente como leña. Las hojas de cafeto se utilizan para fabricar una bebida muy popular, el kawa (véase la Fotografía 10). Aunque un cafeto ya no sea productivo, el uso de sus hojas justificará aquí su conservación. Un mecanismo de control ligado a los procesos decisorios locales se erige aquí en garante de la continuidad a largo plazo de un recurso tan frágil como esencial: el suelo. Es probable que estosjardines agrosilvícolas con predominio de árboles frutales sean los primeros tipos de sistemas agrosilvícolas perennes y de estructura pluriestratificada que se implantaron en Kerinci. De la tradición oral se desprende que tales jardines existían ya a principios de siglo, cuando los holandeses llegaron a la región. Esos jardines constituyen una respuesta de los campesinos a la 26 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY escasezde tierras y a las dificultades que entraña la gestión de suelos especialmente frágiles. Al igual que ocurre con la selva patrimonial de Keluru, el buen funcionamiento de estos sistemas agrosilvícolas depende de una gestión comunitaria de la que es responsablela autoridad tradicional de la aldea. Un mecanismo de control ligado a los procesos decisorios locales se erige aquí en garante de la continuidad a largo plazo de un recurso tan frágil como esencial, el suelo. En el resto del valle, la gestión de las tierras de colinas no ha evolucionado en el mismo sentido que en Semerap, debido sobre todo a la mayor superficie de tierras de la que disponen las demás aldeas.Como ya hemos señalado en el resumen de la historia agrícola de Kerinci, los sistemas de cultivo de la mayoría de las aldeas del valle han tendido a seguir una evolución paralela, que ha transformado los sistemas de rozas y quema de principios de siglo en sistemas agrosilvícolas de dos tipos fundamentales: Sistemas agrosilvícolas con ciclos alternos de cultivos arbóreos y cultivos anuales, los la.&&. Sistemas agrosilvícolas complejos, con una marcada presencia de cafetos y canelos asociados a numerosas especiesforestales, los &. l l Flexibilidadde los sistemasde cultivo que contienencanelos Fotografía ll. Jardines agrosilvícalasn‘ Tras el desbroce de una parcela forestal, el campesino dispone de varias opciones posibles (Figura 7). Las fases 1 y 2 son comunes a los sistemas 3, 4 y 5. Durante los dos primeros años, el campesino produce cultivos anuales e introduce al mismo tiempo cafetosy canelos en la parcela. Los cafetos entran en ciclo productivo al cabo de dos años y medio, y así seguirán hasta el octavo año (2). Después,y debido a la sombra de los canelos, la producción cafetera tiende a bajar. Durante esta fase los cultivos anuales yacen a la sombra de las especies arbóreasy dejan por ello de producir. Una de las opciones del agricultor consiste en cortar los canelos a partir del octavo o el noveno año (3). Se somete entonces a los cafetos a una fuerte poda que les confiere un renovado vigor. De nuevo resulta posible una fase de cultivo anual, con lo que el sistema regresa a la fase inicial 1. La segundaalternativa para el campesino estriba en dejar crecer los canelos durante aproximadamente 25 años (4). La producción cafetera queda en tal caso completamente interrumpida. Cuando finalmente se cosecha la canela, el sistema regresa a la fase 1 y el campesinopuede producir de nuevo cultivos anuales. DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Wodos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 27 28 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Figura 8. Perfil de un jardín agrosilvícola que contiene una asociaciónde maderasde construcción, leguminosasarbóreas ycanelos.Jujun, Kerinci, Sumatra (2'10 S, lOI" -ws E),Alt.900 m,Y.Aumeeruddyy B.Sansonnens,septiembre1990. Alangium kurzii(melal-): 14, 45, 78, 92, 95, 132 ; Aleuritesmoluccana (kemiri): 448, 55, 56, 74,107,117,118,175,177; Archidendronpauciflorum (ienakol):3, 6, 7, 10, 13, 19, 21, 21, 23, 27, 33, 34, 36, 37, 38, 46, 47, 50, 54, 58, 59, 69, 71, 72, 77, 80, 81, 82, 83, 85, 87, 88, 90, 96, 98, 99, 101, 102, 108, 115,120,128,129,133,137,140,148,160,170,176; Areca catechu (Dinanq):114; Artocarpus heterophyllus (nanaka): 31; Cinnamomum burmani(kulit manis): 2, 5, 9, 12, 16, 20, 24, 40, 42, 43, 44, 49, 57, 60, 76, 89, 93, 94, 103, 105, 109, 112, 116, 122, 124, 130, 136, 138, 141,142,153,154,155,157,158; Citrus sp.: 159 ; Coffea canephora m:18, 22, 25, 26, 29, 30, 32, 52, 62, 63, 65, 70, 75, 84, 91, 97, 100, 104,106,110,113,119,123,125,143,144, 145,146; Durio zibethinus (Durban):168, 178; Hevea brasiliensis(karet): 66 ; lansium domesticum (lanasat): 131,150, 151; Mangifera foetida (bacana):4, 35; Nephelium /appaceum(rambutan): 139; ferseaamericana (Dokat):73, 121; Psidium guajava (jambu keras): 163, 167; Toona sinensis(surian): 1, 8, 15, 17, 39, 41,51, 53, 64,67,68,79, 111, 127, 134, 147, 152, 156, 171, 172, 173, 180, 181. Otra posibilidad, por último, es que el campesino plante 0 favorezca la regeneración espontánea de otras especies arbóreas durante las fases 1 y 2. A la vez que se conserva el canelo, los demás cultivos arbóreos entran en fase productiva. El jenékol (Archidendron pauciflorum), por ejemplo, empieza a producir al cabo de ocho a diez años. El canelo se encontrará en tal caso en el sotobosque, donde habrá que gestionarlo mediante un sistema de monte bajo de rotación corta. El campesino tendrá así una parcela de estructura pluriestratificada perenne, con una elevada proporción de especiesde origen forestal que regenerarán espontáneamente(5) (Fotografías 11 y 12). Los figuras 8 y 9 ilustran sendos sistemas agroforestales de este tipo. Ambos perfiles ponen de manifiesto la flexibilidad de gestión que ofrecen estos sistemas, capacesde orientarse hacia distintos tipos de producción según las necesidadesdel campesino. La Figura 8 muestra el perfil de un jardín agrosilvícola sito en la aldea de Jujun. Se trata de un jardín relativamente reciente, de una edad cercana a los cuarenta años. La bóveda está constituida básicamente de jengkol (Archidendron pauciflorum) y& (Parkia speciosa), dos leguminosas arbóreas. Hay asimismo una especie productora de madera de construcción (AZangium kurzii, melaku) y algunos frutales (Mangifera odorata, Mangifera foetida, Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 29 Durio zibethinus). El conjunto productivo intermedio da cabida a una fuerte concentración de canelos y algunos frutales (Garciniu mangostana, Nephelium lappaceum); el conjunto productivo inferior está ocupado por bananos y unos pocos frutales de reducido tamaño, entre ellos varias especiesy variedades de limonero y un guanábano (Annona muricata). En el sotobosque medran numerosas plantas jóvenes que constituyen los árboles del futuro, principalmente especies productoras de madera de construcción (Alangium kurzii, melaku; Toona sinensis, surian; y Michelia champaca t-rsemulun) canelos jóvenes y algunos jóvenes frutales. Un segundo jardín situado también en Jujun (Figura 9) exhibe una estructura dominada por cuatro especiesprincipales: el jengkol, el canelo, el surian y el kemiri. En el conjunto productivo superior predominan los surian y los kemiri. El conjunto intermedio se caracteriza por la abundancia de canelos y de jengkol. Los cafetos ocupan el conjunto inferior. Entre los árboles que forman el conjunto del futuro, los jengkol son los más abundantes,seguidos de los canelos. La zona de los p&& de Jujun presenta una notable heterogeneidadde estructura y composición, que ilustran aquí estos dos jardines. El gran número de productos de esos sistemas agrosilvícolas hacen DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY de ellos estructuras muy flexibles, que el campesino va a modelar en función de sus necesidadesy de las exigencias ecológicas de cada especie.El tiempo del que disponga, el tamaño de su explotación, el sistema de cultivo que aplique en sus arrozales (variedad antigua, de ciclo largo y una cosecha anual, o variedad nueva, de ciclo corto y dos cosechas anuales) y sus ladan (plantación de canelos y cafetos asociada a una rotación más o menos larga con especiesanuales), son otros tantos factores que influirán sobre la estructura y la composición de sus jardines (Aumeeruddy, 1993). l :* Fotografía 12. Aldea al sur del lago Kerinci rodeada por un mosaico de jardines de tipo ladang y pelak. Figura 9. Perfil de un jardín agrosilvicola detipoDelak.con una asociacióndeárbolesfrutales,árboles productores de madera de construcción, leguminosasarbóreasycanelos.Jujun, Kerinci,Sumatra (2'10 5, lOI" E),Alt.900 m, Y.Aumeeruddy y B.Sansonnens,septiembre 1990. Alangium kurzii (melaku): 2, 7, 59, 63, 68, 72, 75, 92, 100, ll, 126, 136, 138; Archidendronpauciflorum (ienakol):4, 20, 77, 78, 99, 109, 113, 120, 122, 151, 152, 155; Cinnamomum burmani (kulit manis): 3, 5, 6, 8, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 60, 62, 64, 65, 66, 67, 69, 73, 74, 79, 80, 81, 83,88, 90, 101, 108, 112, 115, 121, 123, 124, 125, 139, 149, 150, 153, 154; Durio zihethiflus (durian): 9 ; Mangifera indica (amplam): 76 ; Mangifera odorata (kueni): 61 ; ' Michelia champaca (semulu&56; Nephelium lappaceum (rambutan): 1.89 ; 25 Parkia speciosa(@.@: 82, 110 ; Toona siflensis(surian): 91, 93, 94, 102, 103. Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N”3, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Dinámica agrosilvícola en Kerinci Disponibilidadde tierrasy presióndemográfica La disponibilidad de tierras desempeña un papel capital en los procesos de intensificación agrosilvícola que se producen en Kerinci (Aumeeruddy y Sansonnens, pronta publicación, 1994). Tanto en la aldea de Semerap como en la de Jujun, las explotaciones de los campesinos son de reducido tamaño (de 1,3 y 1,9 tia en promedio, respectivamente) y puede observarse en ellas una evolución de los sistemas !a&ng hacia sistemas agroforestales de tipo p&&. El campesino busca con ello diversificar la producción, lo que le permitirá afrontar los vaivenes del mercado y disponer de cosechas regulares escalonadas en el tiempo gracias a la producción estacional de las distintas especies que integran los jardines agrosilvícolas. La producción de las distintas especies domésticas de mango (Mangifera indica, Mangifera foetida y Mangifera odorata), por ejemplo, no es simultánea sino escalonada en el tiempo, lo que a su vez diversifica los riesgos ligados a los imponderables climatológicos. Los pt&& no requieren una gran inversión en horas de trabajo; el escalonamiento en el tiempo de los periodos de . ..lu creación de xonus de amortiguación equivale a favorecer las oportunas formas locales de gestión, formas que incorporan sus propias leyes pura limitar la explotación de los recursos y regular su gestión. cosecha permite un uso flexible de la mano de obra familiar. Transformando los m en Q&&, el campesino puede mantener un nivel elevado de producción en las tierras de colinas y reducir a la vez el tiempo de trabajo, menor para los Q&& que para los w. Ello le permite dedicar más tiempo a los arrozales (donde aplicará un sistema de cultivo 32 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY intensivo con dos cosechas anuales de variedades híbridas) o a otras actividades paralelas (pequeños comercios, un trabajo en el sector público, ...). De los otros dos tipos mencionados de sistemas que integran al canelo, en uno (de tipo u) se alterna la producción cafetera y canelera con la de plantas anuales. Este sistema es el que suelen adoptar los campesinos con explotaciones de tamaño medio, de entre 5 y 10 hectáreas. Aunque el canelo moviliza la tierra durante unos diez años, la producción cafetera permanece constante, excepto durante los dos primeros años de cultivos anuales. El segundo sistema de cultivo (también de tipo ladang) entraña una larga fase de monocultivo del canelo y un gran consumo de tierras, ya que el flujo de producción es nulo o muy escaso(sólo contadas y pequeñas talas de aclareo) durante quince a veinte años. Este es el sistema adoptado por campesinos que poseen grandes explotaciones (10 a 50 Ha). Se trata de campesinos ricos que, aprovechando los distintos periodos de expansión agrícola, han adquirido nuevas tierras a expensasde la selva. Las explotaciones de este tipo suelen hallarse en zonas del valle donde las condiciones geomorfológicas (buenas tierras volcánicas y ausencia de obstáculos topográficos) han hecho posible la ampliación de las tierras agrícolas, proceso regido por una estrategia de ocupación del suelo y capitalización que ha beneficiado a los más ricos. Al buscar la explotación agrícola de nuevas tierras, el sistema de cultivo adoptado en las colinas constituye un frente de crecimiento agrícola que en modo alguno ha favorecido la intensificación agrosilvícola. Influenciadel tipo de gestiónde los recursos (privadao colectiva) sobrela evoluciónde lastécnicasagrosilvícolas En Jujun, y aunque el sistema que rige la adquisición de tierras altas atribuye a la persona que desbroce la selva la propiedad privada de la parcela desbrozada, el jefe tradicional responsable de la gestión de la tierra se reserva el derecho de fiscalizar su utiliza- ción. Este control puede traducirse incluso en la expropiación de las tierras en el supuesto de que un campesino las abandonara durante un tiempo demasiado largo. Por otra parte, se distingue entre las tierras de ladang, susceptibles de venta u otro tipo de transacción de bienes raíces, y las de p&&, cuyo carácter patrimonial dificulta ese tipo de operaciones. Esta imbricación entre gestión colectiva y privada hace que determinados productos de la zona de los p&& sean considerados bienes colectivos y que toda la comunidad pueda beneficiarse de su recolección. Se trata concretamente de los frutos caídos, de los bambús, de la madera muerta y de plantas medicinales silvestres. Ello favorece los intercambios sociales (búsqueda de plantas medicinales en los jardines con ocasión de los festejos relacionados con el arroz, búsqueda de frutos del árbol del pan [Artocarpus heferophghs] para las ceremonias nupciales, trueque de productos entre los habitantes, etc.). Las capas sociales más desfavorecidas tienen accesoa esosrecursos, lo que les permite subvenir a sus necesidadesmas básicas.También los niños tiene derecho de acopio en los p&&, en cuyo interior se nutren abundantementede frutos cultivados y silvestres y recogennuecesde kemiri y de arecaque después venden a pequeños comerciantes de la aldea. Esta libertad de acceso(con la prohibición no obstante de saquear) hace de los pel& lugares de socialización y aprendizajede la naturalezapara los niños. En Semerap, la escasezde tierras y la fragilidad de los suelos han alentado el fortalecimiento de la gestión colectiva de los terrenos patrimoniales (tanah nusaka). La apropiación de las tierras pasa necesariamentepor la plantación de árboles dotados de valor económico que garanticen a la vez una productivida máxima y la reproducción ecológica del sistema. En las zonas agrícolas ganadasa la selva, donde los campesinoscrean grandes explotacionesprivadas con carácter de empresa agrícola, la situación es diametralmente opuesta a las dos anteriores. Las condiciones geomorfológicas e históricas han propiciado la implantación de vastos cultivos arbóreos orientados a la venta. Como Watson (1987) dejó dicho, el poder colonial holandés y ulteriormente el poder central indonesio mantuvieron durante largo tiempo relaciones muy tensas con los poderes tradicionales de Kerinci, poco dispuestos a recibir órdenes de instancias superiores. Esta circunstancia ha venido manifestándose especialmente por una fuerte reticencia a usar las variedades de arroz de ciclo corto. El fomento de los cultivos de exportación por parte de los holandeses,y después del gobierno indonesio, recibió en cambio muy buena acogida, y se tradujo en un notable incremento de la riqueza, aunque ello no propiciara relaciones más fluidas con el poder central. Las profundas transformaciones que la el territorio mediante faeión masha de lanero acompañaron la introducción de cultivos comerciales indujeron cambios sustanciales en los modos de gestión de los bienes raíces, tendencia que iba a forjar y alimentar una concepción muy radical de la propiedad privada de tierras y recursos. El origen de esta situación ha de buscarse en la prohibición de tala y pastoreo en la selva que promulgaron los holandeses en 1929, cortapisa a la que respondió la población señalizando el territorio mediante la plantación masiva de canelos. En cuanto a las zonas agrícolas, la gestión colectiva de las tierras y los recursos vegetales va cediendo terreno progresivamente. Ello conduce a situaciones un tanto rocambolescasen lo que respecta a la gestión de ciertos recursos no destinadosa la venta, como la tala de bambús y la recogida de frutos silvestres por parte de los niños. En las nuevas zonas agrícolas, el bambú, recurso colectivo dotado de un gran contenido simbólico, se convierte en recurso privado y fuente de numerosos conflictos. Siendo motivo de suspicacias y vigilancia, no tarda en ser también objeto de robos. A raíz de la marcada estratificación social que ha ido apareciendo en las nuevas zonas agrícolas, los campesinosmás ricos han entrado en un proceso de capitalización ligado a la economía de mercado y rubricado por su visión de la selva como un recurso gratuito del que pueden servirse para aumentar su capital y rentabilizar las cuantiosas inversiones de sus empresas agrícolas. Tales transformaciones sociales dan lugar a un uso incontrolado y destructivo de los recursos forestales. En tal contexto, la creación de zonas de amortiguación equivale a favorecer determinadas formas locales de gestión, formas que incorporan sus propias leyes para limitar la explotación de los recursos y regular su gestión. En este sentido, el sistema utilizado en la aldea de Semerap parece lo bastante eficaz para promover una intensificación de la agrosilvicultura. Weber y Reveret (1993) señalan que los recursos de propiedad colectiva de los que la población autóctona se ve privada a causa de una prohibición de accesoa la selva dejan de ser consideradosbienes colectivos, necesitados como tales de una gestión local. Gadgil et al. (1988) evocan situaciones parecidas en selvas de la India sobre las que pesa una prohibición de tala y pastoreo. Hay motivos para DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la perlterla del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 33 pensar que una situación como la descrita ha provocado en Kerinci fuertes deforestaciones en las nuevas zonas agrícolas ganadas a la selva. Para resolver los conflictos entre los modos de apropiación típicos de una gestión centralizada y los propios de una gestión local es necesario un cuidadoso estudio de esos modos de apropiación, así como de los procesosdecisorios que aplica cada parte a la gestión de los recursos. Relaciónentrevías de comercialización y dinámicaagrosilvícola Tanto los antiguos jardines agroforestales frutícolas (del estilo descrito en Semerap) como los más recientes (del tipo descrito en Jujun) poseen una marcada vocación comercial. Productos como el jengkol, el kemiri o numerosos frutos (durian, mangoustan, GUQ&,etc.) se ponen a la venta en circuitos de corta distancia, esto es, en los distintos mercados del propio valle. El sistema de mercados itinerantes permite al campesino especializado en el comercio de ciertos artículos (arroz, fruta, hortalizas) dar salida a sus productos en los distintos mercados del valle. Entre Kerinci y las regiones costeras median circuitos comerciales de mayor escala. La gran ventaja del valle estriba en la diferencia existente entre sus periodos de cosechay los del litoral. Tradicionalmente, productos como la leña, las plantas medicinales o las maderas de construcción han tenido poca presencia en el mercado. Pudimos observar, sin embargo, la aparición de un nuevo 34 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, NO 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY mercado de maderas de construcción ligado al reciente desarrollo de una serie de pequeñas empresas. Estos cambios ejercen una influencia directa sobre la diversificación agrosilvícola. En este sentido se observa, especialmente en Jujun, una intensificación de las plantaciones de tres de las especies productoras de maderas de construcción con mayor salida al mercado: Toona sinensis (w), Alangium kurzii (melaku) y Michelia champaca (semulun). En cuanto al mercado frutícola, la mejora de las infraestructuras viarias del valle permite una distribución más eficaz de la mercancía tanto a corta como a larga distancia. En otras palabras, existe ahora la posibilidad de “exportar” fruta a las regiones litorales. Los campesinos son muy sensibles a esta nueva coyuntura, máxime cuando la estructura y la variada composición de sus jardines agrosilvícolas ofrecen la flexibilidad necesaria para favorecer la producción de ciertos artículos cada vez más solicitados por el mercado. La mejora de los circuitos comerciales lleva a la diversificación agroforestal. Sin embargo, esta tendencia puede igualmente invertirse en la medida en que la demanda del mercado no afecte sino a un pequeño número de productos. En el caso de las maderas de construcción, por ejemplo, se observa en Jujun la eliminación progresiva de las especies carentes de salida al mercado, reemplazadas ahora por las tres especies más comerciales. El ejemplo más evidente es el del monocultivo de canelos, que coloca al campesino en situación de dependencia absoluta con respecto a una economía de mercado. En tales circunstancias, la lógica de la capitalización individual se impone a la gestión a largo plazo de los recursos colectivos, que tiende a desaparecer.Y ello tendrá consecuenciasfunestas sobre la utilización de la selva, que será talada para implantar en su lugar .$ nuevos cultivos orientados a la venta. Conclusiones La población de Kerinci entiende la selva como un territorio ancestral. El estudio de las representaciones, conocimientos y usos de los vegetalesdemuestra que la gestión de1agua necesaria para alimentar los arrozales constituye uno de los grandes ejes de la gestión de los recursos naturales. En este sentido, la población otorga una gran importancia a la conservación de las selvas situadas aguas arriba. Dicho de otro modo, las razones que justifican la protección de la selva no son las mismas para los campesinos que para las autoridades públicas, centradas éstasen conservar la biodiversidad y atentos aquéllos a gestionar la cuenca hidrográfica para cubrir sus necesidadesde subsistencia.Es probable, a la vista de lo anterior, que una mejor orientación de los discursos y los objetivos ligados a la protección de la naturaleza contribuyera a lubricar las tensas relaciones entre el campesinado y los responsables públicos. El estudio de las representacionessimbólicas de las tierras forestales y agroforestales,combinado con el de los diversos usos de las plantas y modos de gestión indígenas, demuestra que para obtener un conocimiento global y completo de los sistemas de gestión es preciso tener en cuenta a la vez sus aspectoseconómicos, simbólicos e institucionales. Los sistemas de clasificación de los campesinos derivan de una percepción del mundo orgánico e inorgánico distinta en ciertos aspectos de las clasificaciones científicas. La percepción de la diversidad biótica y de los procesos ecológicos es producto de la influencia recíproca entre las técnicas, los usos y las representaciones de lo vegetal propios de cada sociedad. Para hacer posible una colaboración fructífera entre responsablespúblicos y campesinos sería necesario franquear un primer umbral: la mutua aceptación de que existen multitud de percepcionesposibles de la diversidad del mundo natural, y de que cada uno de esos sistemas de clasificación puede dar lugar a diversasaplicaciones. Los terrenos forestales protegidos, y por lo tanto inaccesibles para el campesino, pierden a sus ojos todo interés económico o simbólico. Por añadidura, las instituciones locales dejan de controlar la gestión de los recursos en el interior de dichas tierras. Paradójicamente, pues, y pese a la existencia de medidas coercitivas, la prohibición de acceso a tierras forestales allana el camino a la destrucción de la selva. La creación de una zona de amortiguación exige definir la zona forestal a la que podría acceder la población, que habría de amoldarse a un sistema de control y explotación restringida de los recursos dependiente de las autoridades comunitarias locales. Para que los habitantes se reapropien de las tierras forestales parece necesario, en efecto, que puedan gestionar una parte de la selva y servirse de nuevo de sus recursos. En este sentido, numerosos estudios sobre la extracción de ratán en Kerinci parecen confirmar que sería posible simultanear un cierto grado de extracciones con el fomento de la plantación de ratanes en zonas periféricas del parque (Siebert, 1989). En tal caso, un cinturón agrosilvícola alrededor de esa zona forestal de amortiguación podría funcionar como zona de producción intensiva, con estatuto de propiedad privada o comunitaria según la aldea considerada. Los sistemas agrosilvícolas de tipo p&&, notorios por su flexibilidad, su viabilidad ecológica y social y las posibilidades que ofrecen para controlar los recursos comunitarios, podrían constituirse a largo plazo en verdaderas zonas de amortiguación alrededor del parque, siempre y cuando pudieran crearse otros puestos de trabajo paralelos a la gestión de los sistemas agroforestales. Considérense, por ejemplo, los eventuales empleos generados por la comercialización de los productos agrosilvícolas. Habida cuenta de los límites existentes al crecimiento de los sistemas agroforestales, parece obvio que, a largo plazo, la agricultura no bastará por sí sola para cubrir todas las necesidades de la población. Será necesario pues impulsar un proceso de desarrollo progresivo, que incluya proyectos innovadores e induzca una participación muy directa de los propios habitantes. DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 35 Los responsables públicos de la gestión de la selva admiten muy rara vez la utilidad de las técnicas agrícolas locales para la conservación in-situ de la biodiversidad. Al margen de las selvas de propiedad colectiva, los propios jardines agrosilvícolas dan cabida, por razones prácticas, sociales o culturales, a un gran número de especiesforestales. Sin embargo, la función protectora de esos jardines -que para los campesinos no es un objetivo en sí mismo sino un simple resultado accidental de sus modos de cultivono carece de posibles efectos adversos.Por ejemplo: la prohibición de tala maderera en el interior del parque está causando ahora la desaparición de las dos especies silvestres de frutales, Mungifera applanata Kosterm. (pohon vauh) y Palaquium macrocarpum (ti). Ambas especies, destinadas antaño a otros usos y protegidas en virtud de ellos, son taladas hoy para la obtención de madera. Al tratarse de especiesde crecimiento lento, tienden a desaparecercon rapidez. Apoyando la plantación de esas especies en zonas forestales periféricas bajo control de la propia comunidad, los organismos de protección contribuirían a restablecer un patrimonio arbóreo útil desde el punto de vista de la población autóctona. Los sistemas agrosilvícolas contienen igualmente un amplio abanico de especies productoras de maderas de construcción, de crecimiento relativamente lento. Abandonado a la presión de los mecanismos de mercado, ese contingente tendería a desaparecer. En las mencionadas zonas periféricas podrían plantarse también especiesde ese tipo. El análisis de los modos de gestión agrosilvícola, y en especial el de la relación existente entre desarrollo agroforestal y propiedad de las tierras, demuestra que, a largo plazo, el control comunitario garantiza la continuidad del sistema agrosilvícola, especialmente en coyunturas de fuerte presión de compraventa de tierras. En las nuevas zonas agrícolas ganadasa la selva, el control colectivo de la tierra tiende a desvanecerse para dar paso a un proceso de capitalizaciones individuales, que se realizan a expensas del patrimonio forestal. Sería conveniente pues adoptar medidas específicas para hacer de los campesinos ricos colaboradores privilegiados de las tareas de conservación. Son dichos campesinos, en efecto, quienes siempre se han opuesto a los poderes externos. Establecer 36 DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY modos de gestión que no los excluyan es el único medio posible para recuperar cierto control sobre el desbrocede nuevas tierras forestales. Por último, la transformación de los !a&& en sistemas agrosilvícolas perennes viene a demostrar que la intensificación de la agrosilvicultura es posible en circunstancias de fuerte presión demográfica. Dicha intensificación debe ser progresiva y observar las reglas de cultivo que el campesino conoce y utiliza, por ejemplo el uso de especiesheliófilas “frías” en las primeras etapas de la creación de un jardín agrosilvícola. No conviene olvidar tampoco la gestión de las hierbas adventicias, pues la presencia de un tapiz herbáceo en taludes de fuerte pendiente permitirá en un primer momento evitar la erosión. Igualmente necesarios, por lo demás, son los productos hortícolas anuales, cuya implantación habría que prever, en forma de cultivos interlineares, en zonas del valle donde las condiciones geomorfológicas y climáticas resultaran especialmentepropicias (suelos volcánicos ricos y un clima más frío, ligado a una mayor altitud). Las políticas agrarias basadasen el fomento de unos pocos productos de exportaciónno sólo provocan directamente la destrucción de zonas forestales sino que engendran una fuerte dependenciadel campesino respecto del mercado internacional. En cambio, el apoyo del gobierno y las organizacionesecologistasal desarrollo de estructuras de comercializaciónpara los productos de la agrosilvicultura estimularía sin duda su diversificación. Los resultados expuestos en este documento demuestran que, reconociendo el valor de los conocimientos y las técnicas agrícolas del campesinado, los gestores del parque contribuirían a limar asperezasy apaciguar conflictos entre ambas partes. Dadas las restricciones que la presencia del parque impone a la ampliación de las tierras agrícolas, la intensificación y la mejora de la producción agrosilvícola son no sólo posibles sino también deseables. Sin embargo, condición previa para alcanzar tal objetivo es que los habitantes participen real y activamente en los procesosdecisorios que les afecten o guarden relación con cualquier cambio que hubiera .> de producirse en la región. Agradecimientos Este trabajo se inscribe en el marco de las actividades del Laboratorio de Botánica de la Universidad de Montpellier II (URA CNRS 327), con cuyo director, Francis Halle, que lo fue también de mi tesis, estoy en deuda. Para la realización del trabajo gocé del apoyo financiero del Ministerio de Investigación de Francia. Caluroso agradecimiento merecen también el Departamento de Conservación Forestal (PHPA) indonesio y el WWF-Indonesia, en especial Sutisna Wartaputra y Russell Betts, iniciadores y valedores de este trabajo. El programa MAB de la UNESCO financió igualmente este trabajo con la concesión de una beca para jóvenes investigadores; en este sentido quisiera expresar la especial gratitud que debo a Malcolm Hadley, de la División de Ciencias Ecológicas. Agradezco a Laiya Sitasi, de la Oficina Regional de la UNESCO en Jakarta, y a Y. Hewindati que se hicieran cargo de la traducción del resumen al indonesio. El Instituto de Ciencias de Indonesia (LIPI) merece igualmente mi gratitud, al igual que Annick Fédensieu, Bertrand Sansonnens y Philippe Savouré, con quienes trabajé en Kerinci. Agradezco a Meriem Bouamrane (UNESCO), Laure Emperaire (ORSTOM), Francias Hallé (Universidad de Montpellier II), Annette Hladik (CNRS) y Gary Martin (Pueblos y Plantas) el tiempo que dedicaron a leer y comentarme el texto. Sin embargo, cualquier error que subsistiera es de mi entera responsabilidad. Vaya por último mi agradecimiento a los habitantes de Kerinci por su gran paciencia y su calurosa acogida, con la esperanza de que este trabajo contribuya al justo reconocimiento .:* de todo su saber. Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, ~03, NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 37 Referencias bibliográficas Aken, van A. P. V. 1915. “Nota betreffende de afdeling Koerintji”. En : Mededeelingen van het Encyclopaedisch Bureau, Aflevering VIII, pp. l-86. Batavia, Papyrus. Alcorn, J. B. 1984. “Development policy, forests, and peasant farms: reflections on Huastec-managed forests’contributions to commercial production and resource conservation”. Economic Botany : 38(4), 389-406. Alexandre, D. Y. 1989. “L’arbre et le maintien des potentialités agricoles”. En: Eldin, M.; Milleville, P. (eds). Le risque en agriculture, pp. 115-130. Colección «A travers champs», París, ORSTOM. AItieri, M. ; Merrick, L. C. 1987. “In situ conservation of crep genetic resources through maintenance of traditional farming system”. Economic Botany : 41(l), 86-96. Ampt-Riksen, V. ; Ven, J. van de. 1992. “A crooked balance. Agricultura1 production and nature conservation: an Indonesian and a Dutch area compared”. En : von Benda-Beckmann, F. ; van der Velde, M. (eds).Law as a resource in agrarian struggles, pp. 391-218. Wageningen, Universidad de Agricultura. Anonyme, 1991. Statistik, Indonesia. Jakarta, Biro Pusat Statistik. Ardha, 1. N. 1974. Village leve1case study on small marketing problems: the case of cassia vera. Padang, Indonesia. Bureau of Planning, Ministry of Agriculture. Aumeeruddy, Y. 1992.Agroforestry in the Kerinci valley: a support fo buffer zone management for Kerinci Seblat National Par-k, Sumatra, Indonesia. Preliminary Report. Laboratoire de Botanique Tropicale, Institut de Botanique, Montpellier y PHPA Sungai Penuh/Kerinci, 43 p. (mimeogr.). 38 Aumeeruddy, Y. 1993.Agroforêts et aires de forêfs protégées représentations et pratiques agroforestières paysannes en périphérie du Pare National Kerinci Seblat, Sumatra, Zndonésie.Tesis doctoral, Universidad de Montpellier II, Francia. Aumeeruddy, Y. ; Bakels, J. 1994. “Management of a sacred forest in the Kerinci valley, Central Sumatra: an example of conservation of biological diversity and its cultural basis”. J.A.T.B.A., 36 (2). Aumeeruddy, Y. ; Sansonnens, B. “Shifting from simple to complex agroforestry systems: an example for buffer zone management from Kerinci (Sumatra, Indonesia)“. Agroforestry Systems. BAKOSURTANAL; BAPPEDA. 1990. Laporan Survey Taman Nasional Kerinci Seblat, Propinsi Daerah Tingkat I, Jambi. Jambi, Kerjamasama Bakosurtanal dan BappedaTingkat 1. Batisse, M. 1982. “The biosphere reserve: a tool for environmental conservation and management”. Environmental Conservation: 9, 101-110. Belsky, J. M. 1991. “Food selfsufficiency and land use in the Kerinci uplands of Sumatra: implications for conservation farming”. Tesis doctoral, Universidad de Cornell, EE.UU. Belsky, J. M. “Household food security, farm trees and agroforestry: A comparative study in Indonesia and the Philippines”. Human Organization. Bergeret, A. 1977. Vers une plus large autonomie alimentaire du tiersmonde. Tesis doctoral, Universidad de París 1, Francia. DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Berlin, B. ; Breedlove, D. E. ; Raven, P. H. 1974. Principies of Tzeltal plant classification: an introduction to the botanical ethnography ofa Mayan speaking people of highland Chiapas. Nueva York, Academic Press. Blouch, R. A. ; Siregar, S. 1985.A proposal for buffer zone development in the Kerinci enclave, Kerinci-Seblat National Park. Bogor, Directorate General for Forest Protection and Nature Conservation, Department of Forestry, 22 pp. (mimeogr.). Clemens, A. H. P. 1992. “Regional patterns in the foreign trade of the Outer Provinces 1911”. En: Changing economy in Indonesia . A selection of statistical source material from the early 19th century up to 1940. Val. 2: Regional patterns in foreign trade 1911-1940, pp. 32-41. Amsterdam, Roya1Tropical Institute. Conklin, H. C. 1954. The relation of Hanunoo culture to the plant world, 252 pp. Tesis doctoral, Universidad de Yale, EE.UU. Descola, P. 1986. La Nature domestique. Symbolisme et praxis dans lécologie desAchuar, 450 pp., París, Fondation Singer-Polignac, Editions de la Maison des Sciences de 1’Homme. FAO. 1982. National conservation plan for Indonesia Val. II, Sumatra, Informe de PNUD/Proyecto de desarrollo de parques nacionales de la FAO INS/78/061, Vol. II. Bogor, FAO. Fedensieu,A. 1992. “Occupation, perception et représentations de l’espaceau Kerinci”. En: Aumeeruddy, Y. ; Fedensieu A. ; Savouré, P. (eds).L’agroforesterie traditionnelle dans la vallée du Kerinci : un support à la gestion des zones tampons pour le Pare National Kerinci Seblat, Sumatra, Zndonésie.Informe de investigación para el Ministère de la Recherche et de I’Espacede Francia, Laboratoire de Botanique, Universidad de Montpellier II, 181 pp.(mimeogr.), Francia. Foresta, H. de; Michon, G. 1991. “CompIex agroforestry systems and conservation of biological diversity (II)“. En: Proceedings of the International Conference on Tropical Biodiversity « In Harmony with Nature » 12-16 June 1990, Kuala Lumpur, Malaysia, pp. 488-500, Kuala Lumpur, United Selangor Press. Friedberg, C. 1990.Le savoir botanique des Bunaq, MCmoiresdu Muséum National d’Histoire Naturelle Botanique, Volumen 32.303 pp. París, Editions du Muséum. Friedberg, C. 1992. “Représentations, classifications : comment l’homme pense ses rapports au milieu naturel”. En: Jollivet, M. (ed.), Science de la nature, science de la société. Les passeurs de frontières, pp. 357-391. París, CNRS. Gadgil, M. ; Subash Chandran. 1988. “On the history of Uttara Kannada forests”. En: Dargavel, J. ; Dixon, K. ; Semple, N. (eds), Workshop Meeting - Changing tropical forests. Historical perspectiveson today’s challenges in Asia, Australasia and Oceania, Canberra, 1618 Muy 1988, pp. 47-58. Canberra, Centre for Resourceand Environmental Studies. Hadisepoetro,S. 1991. “Kebijaksanaan pengelolaantaman nasional di Indonesia dalam hubunganna dengan pengembangandaerah penyangga”.Ponencia en el «Symposium on Rain forest protection and national park buffer zones»,Manggala Wanabakti, Jakarta, Indonesia, 7 de febrero de 1991.10 pp. DHV-RIN (mimeogr.). Hallé, F. 1985. “Un système d’exploitation ancien, mais une interface scientifique nouvelle: l’agroforesterie dans les régions tropicales humides”. En: Chatelin, Y. ; Riou, G. (eds)Milieux et Paysages,pp. 46-65. París, Masson. Harwood, R. R. 1979. Small farm development - understanding and improving farming systems in the humid tropics. Boulder, Westview Press. Haudricourt, A. G.; Hédin, L. 1987. L’Homme et les plantes cultivées. 281 pp. París, A.M. Métailié. Heyne, K. 1922.Nuttige Planten van Nederlandsch Indie. Traducción al inglés anónima (1”ed.: 1913-1917), Kuala Lumpur. Janzen, D. H. 1973. “Tropical agroecosystems.These habitats are misunderstood by the temperate zones, mismanaged by the tropics”. Science : 182,1212-1219. Kathirithamby-Wells, J. 1986. Thomas Barnes expedition to Kerinà in 1818. Occasionalpaper N”. 7.88 pp. Canterbury, Center of South-Ea& Asian studies. Kerinci Dalam Angka (KDA). 1988. Badan perencanaan pembangunan daerah tk II Kerinci, Sungai Penuh. Lévi-Strauss, C. 1962. La pensée sauvage. 389 pp. París, Plon. Machlis, G. E. ; Trichnell, D. L. 1985. The state of the worlds parks: an intemational assessmentfor resource management, policy and research. 125 pp. Boulder, Westview Press. MacKinnon, J. 1981. “Cuidelines for the development of conservation buffer zones and enclaves”.En: Nature Conservation Workshop, Bogar, 1981. Bogor, PPAAQWFIFAO. Marsden,W. (ed.). 1975. 3”edición (1” éd. 1811,2” ed. 1966). The history of Sumatra,Otiord in Asia, Historical reprints. 479 pp. Kuala Lumpur, Nueva York, Londres, Oxford University Press. Mary, F. 1987.Agroforêts et sociétés. Analyse socio-économique de systèmesagroforestiers indonésiens. Colección Notes et Documents no 81. Economie et Sociologie rurales. 96 pp. Montpellier, ENSA-INRA. Mar-y,F. 1989. “La panoplie des stratégies antirisques dans les exploitations rizicoles et agroforestièresde Maninjau. Actions individuelles et garanties collectives”. En: Eldin, M. ; Milleville, P. (eds)Le risque en agriculture, pp. 269-276. Colección «A travers champs», París, ORSTOM. McNeely, J. A. ; Miller, K. R. 1982. “National parks, Conservation and Development”. Proceedingsof the World Congresson National Parks. Bali, Indonesia, ll-22 octobre 1982. Smithsonian Institution Press. Michon, G. 1985.De l’homme de la forêt au paysan de l’arbre. Agroforesteries indonésiennes.273 pp. Tesis doctoral, Universidad de Montpellier II, Francia. Michon, G. ; Bompard, J. 1987. “Agroforesteries indonésiennes: contributions paysannesà la conservation des forêts naturelles et de leurs ressources”.Revue dI?cologie (La Terre et la Vie) : 42, 3-37. Michon, G. ; Bompard, J. M. ; Hecketsweiler, P. ; Ducatillion, C. 1983. “Tropical forest analysis as applied to agroforests in the humid tropics: the example of village agroforests in West Java”. Agroforestry systems, 1, 117-129. Michon, G. ; Mary, F. ; Bompard, J. M. 1989. “Multistoried agroforestry garden system in West Sumatra, Indonesia”. En: Nair, P. K. R. (ed.) Agroforestry systems in the tropics, pp. 243-268. Dordrecht, Boston, Londres, Kluwer Academic Publisher. Michon, G.; Foresta, H. de. 1991. “Complex agroforestry systemsand the conservation of biological diversity. (1)Agroforests in Indonesia: the link between two worlds”. En: Proceedings of the International Conferenceon Tropical Biodiversity « In Harmony with Nature » 12-16 June 1990, Kuala Lumpur, Malaysia, Kuala Lumpur, United Selangor Press. Morley, R.J. 1982. “A palaeoecological interpretation of a 10 000 year pollen record from Danau Padang, Central Sumatra”. Journal of Biogeography : 9,151-190. Nair, P. K. K. 1989.Agroforestry systems in the tropics. Dordrecht, Boston, Londres, Kluwer Academic Publishers/ICRAF. Oldeman, L. R. 1977. “Climate of Indonesia”. En: Sixth conference of the Asian-Pacific weed Science Society, 1977. pp. 14-30. Oldeman, L. R.; Las, 1.; Darwiss, S. N. 1979. “An agroclimatic map of Sumatra”. Contr. Centr. Res.Inst. Agrie. Bogor, 52, l-35. Oldeman, R. A. A. 1974.L’architecture de la forêt guyanaise. Mémoire ORSTOMn” 73. 204 pp. París, ORSTOM. Oldfield, S. 1988.Bufir zone management in tropical moist forests. Casestudies and guidelines. Gland, Suiza y Cambridge, Reino Unido, Programa “Selva Tropical” de la UICN. Revel, N. 1990. Fleurs de Paroles Histoires Naturelles Palawan, Philippines. 314 pp. París, Ed. Peteers/Selaf. Rice, R. C. 1991. “Riau and Jambi: rapid growth in dualistic natural resource-intensive economies”. En: Ha1Hill (ed.) Unity and diversity. Regional economic development in Indonesia, pp. 127-150. Oxford, Oxford University Press. Rismunandar,. 1989. Kayu manis. 101 pp. Jakarta, Penebar Swadaya. Sansonnens,B. 1992.Agroforestry in the Kerinci valley: a support to buffw zone management for Kerinci Seblat National Park (Sumatra, Indonesia); structural analysis of agroforestry gardens, IBSG, Universidad de Lausana, Suiza. PHPA, Sungai Penuy, Kerinci, Indonesia. (mimeogr.). Sansonnens,B. 1994. Structure et dynamique agroforestières en Asie tropicale humide. Analyse comparée de deux études de cas à Sumatra (Indonése) et au Sri Lanka. Tesis doctoral, Universidad de Lausana. . DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3. NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 39 Santiapillai, C. 1991. “Human encroachment in Sumatra’s conservation areas”. En: Collins, N. M. ; Sayer,J. A. ; Whitmore, T. C. (eds) The ConservationAtlas of Tropical Forests:Asia and the Pacifìc, Londres y Basingstoke, Macmillan Press. Savouré,P. 1990. Comparaison des systèmesde culture intégrant le cannelier dans la région du Kerinci (Sumatra, Indonésie). Informe E.S.A.T.,C.N.E.A.R.C.66 pp. Montpellier, Francia. Sayer,J. 1991.Rainforest buffer zone: guidelines for protected urea managers. 94 pp. Newbury, Reino Unido, UICN, The Nature Conservation Bureau Ltd. Schnitger, F. M. 1989. 3”Edición (1” ed.: 1939,2” ed.: 1964).Forgotten kingdoms in Sumatra. 175 pp. Singapur, Oxford University Press. Scholz, U. 1983. The natural regions of Sumatra and their agricultura1 production pattern. Vol. 1: A regional analysis. 257 pp. Bogor/Padang,Central Institute for Food Crops (CRIFC)/Sukarami ResearchInstitute for Food Crops (SARIF). Schrieke, B. 1955.Zndonesian Sociological Studies. Part 1. La Haya, Van Hoeve. Siebert, S. F. 1989. “The dilemma of a dwindling resource: rattan in Kerinci, Sumatra”. Principes 33(2), 79-87. 40 Steppler, H. A.; Raintree, J. B. 1983. “The ICRAF researchstrategy in relation to plant science research in agroforestry”. En: Huxley, P. A. (ed.) Plant research in agroforestry, pp. 297-321. Nairobi, Kenya, ICRAF. Stoler, A. 1978. “Carden use and household economy in rural Java”. Bulletin of Indonesian Economic studies 14(2), 85-101. Tiollier, V. 1984.Pourquoi tant d’échecs dans les projets de développement en milieu tropical ? Comment pourrait intervenir l’écologie ? Curso de doctorado (DEA) de Ecología general y aplicada, Universidad de Montpellier II, Francia. Verstappen,H. T. 1973.A geomorphological reconnaissance of Sumatra and adjacent islands (Indonesia). 182 pp. Verhandelingen of the Roya1Dutch GeographicalSociety (K.N.A.G.). Groningen, Wolters-Noordhoff. Watson, C. W. 1984. Kerinci. Two historical studies. Occasionalpaper No. 3, Centre of South-East Asian Studies. 62 pp. Canterbury, Reino Unido, Universidad de Kent. Watson, C. W. 1987. State andsociety in Indonesia. Three papers. Occasionalpaper No 8, Centre of South-East Asian Studies. 74 pp. Canterbury, Reino Unido, Universidad de Kent. DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY Watson, C. W. 1991. “Cognatic or matrilineal: Kerinci social organization in Esther perspective”.En: Hüsken, F. ; Kemp, J. (eds) Cognation and social organization in Southeast Asia, pp. 55-70. Leiden, KITLV Press. Watson, C. W. 1992.Kinship, property and inheritance in Kerinci, Central Sumatra. CSACMonographs No. 4, South-East Asia Series, Centre for Social Anthropology and Computing and the Centre of South-East Asian Studies. 255 pp. Canterbury, Reino Unido, Universidad de Kent. Weber, J. ; Reveret,J. P. 1993. “Biens communs : les leurres de la privatisation”. En: Une ten-e en reconnaissance,les semencesdu développementdurable, 71-73. París, Le Monde Diplomatique, Colección “Savoirs”, no 2. Wells, M. ; Brandon, K. ; Hannah, L. 1992.People and parks. Linking protected urea management with local communities. 99 pp. Washington, D.C., Banco Internacional de Reconstrucción y FomentoBanco Mundial. Wind, J. ; Prins, H. T. T. 1989.National buffer zone and research management: inception report. Bogor, Indonesia, Proyecto de creación de parques nacionales del Banco Mundial, DHV-RIN Consultancies,39 pp. Zube, E. H. 1986. “Local and extra-local perceptions of national parks and protected areas”.Landscape and urban planning, 13, 11-17. Anexos Anexo1.Plantasútiles de la selvapatrimonial de Temedak,en Keluru, NOMBRE CIENTIFICO NOMBRE INDIGENA Garchia sp. CLUSIACEAE Homalomena sp. ARACEAE asam kandis Artocarpus sp. MORACEAE CaraKa brachiata RHIZOPHORACEAE CNlnamomum sintok LAURACEAE Dendrocalamus asper POACEAE Dysoxyhm / Aglaia sp. MELIACEAE Endospermum sp. EUPHORBIACEAE Eugenia sp 1. MYRTACEAE Eugenia sp. 2 Mangifera applanata ANACARDIACEAE no identificado Palaquium macrocarpum SAPOTACEAE Persea sp. LAURACEAE Popowia sp. ANNONACEAE fterospermum javanicum STERCULIACEAE Schizostachyum irraten POACEAE Microcos laurifolia TILIACEAE N TIPO COLECCION’ BIOLOGICO nzai medana kavu manis bamboo betunq letuna nasi pohon telap kavu kelat beringin kavu kelat jambu pohon oauh kayu musun m medana durian kayu menit & buluh temiang kavu uho - uho Bauhinía sp. CAESALPINIACEAE Schizostachyum pleianthemum POACEAE akar ianakat buluh tanakal Amorphophallus sp. ARACEAE Caesalpinia cf. majar CAESALPINIACEAEA Costus speciosus ZINGIBERACEAE Dioscorea cf bulbifera DIOSCOREACEAE Ficus hispida MORACEAE Ficus parietalis Ficus sp. Luvunga sp. RUTACEAE MENISPERMACEAE Micromelum sp. RUTACEAE MYRTACEAE Pandanus sp. PANDANACEAE Piper cf. chaba PIPERACEAE batana kerubut buah kaliang setawar aaduna babi serbukoeremouan serbuk laki laki kavu si anak limau bunian akar oenang oenang kay semaman kavu bal angqin pandan sirih hantu Y.A. 359 Y.A. 400 Y.A. 208 Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. 462 407 305 494 490 344 378 218 166 484 488 Y.A. 133 Y.A. 561 Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. 552 352 547 519 349 551 501 280 Y.A. 132 árbol ‘i ?,-:i-: : bambú” ‘, árbol .: herbácea liana herbácea herbácea árbol árbol hemiepífito liana liana arbusto árbol arbusto liana 3” , ; _jlp : - <, i =e * Y.A.: Coleccióndel herbario de Yildiz Aumeeruddy Modos DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N”3, hi&iEMBfiE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. YILDIZ AUMEERUDDY 41 42 Piper sp. PIPERACEAE Canthium horridum RUBIACEAE Smilax sp. LILIACEAE Zingiber sp. ZINGIBERACEAE Piper sp. PIPERACEAE sirih kakap kayu kemuninq akar kawat ngelan merah sirih bunian Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. ANNONACEAE Cordyline sp. LILIACEAE menit seluang batana tawar Y.A. 358 árbol arbusto Artocarpus elasticus MORACEAE Bambusa vu/garis var. vulgaris POACEAE Cayota mitis ARECACEAE ficus benjamina MORACEAE Fícus drupacea MORACEAE Ficus sumatrana MORACEAE MENISPERMACEAE Styrax benzoin STYRACACEAE pohon terok aur minvak lencjsi/ miang isi kay aro kecil daun kayu aro lebar daun kayu aro daun suduh suduh keminian Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. 413 234 274 546 548 262 525 167 árbol bambú arbusto árbol árbol árbol liana árbol Bambusa multiplex POACEAE Bambusa vulgaris POACEAE Caryota sp. ARECACEAE Curculigo sp. HYPOXIDACEAE Daemonorops depressicula ARECACEAE Daemonorops melano chaetes ARECACEAE Eugenia sp. 3 MYRTACEAE Eugenia sp. 4. MYRTACEAE ficus ampelas MORACEAE Ficus sp. MORACEAE Ficus sp. MORACEAE Gigantochloa robusta POACEAE Gigantochloa sp. 1 POACEAE Gigantochloa sp. 2 POACEAE Knema sp. MYRISTICACEAE Lygodium circinnatum Mallotus sp. EUPHORBIACEAE no identificado Sapindus rarak SAPINDACEAE Schyzostachyumbrachycladum POACEAE aur cina aur bihasa pohon samoul daun aerek rotan udang rotan aetah kay terneras kay terneras betina ag.Ql&s kavu ketaii kayu sekedin bambu mavan buluh kapal buluh srik kayu sedarah paku akar masiho akar Iulo kelikir buluh telang Y.A. 206 Y.A. 205 bambú bambú Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. herbácea liana liana arbusto arbusto arbusto árbol árbol bambú bambú bambú árbol liana árbol liana DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 246 172 549 493 367 491 492 279 Y.A. 117 Y.A. 281 Y.A. 520 Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. 236 235 223 529 178 550 184 144 liana arbusto liana herbácea liana bambú Ex : N: c: 0: F: Y.A. : especiesexóticas o nativas de otras regiones de Indonesia que regeneran espontáneamente; especiesde la vegetación natural que regeneran espontáneamente; especie cultivada; ocasional; frecuente; colección del herbario de Yilmiz Aumeeruddy. NOMBRECIENTIFICO N/C/ EX/ Aleurites moluccana EUPHORBIACEAE Ex,C kemintanlkemiri árbol Alpinia galanga ZINGIBERACEAE C langkuas herbácea Baccaurealanceolata EUPHORBIACEAE N memoaung Curcuma longa ZINGIBERACEAE C lgy&t Eugenia caryophy//ata MYRTACEAE C cengkeh Eugenia polyantha Garcinia sp. CLUSIACEAE Kaempferia galanga ZINGIBERACEAE Pandanus amaryilifolius (sinón. Pandanus odorus) PANDANACEAE Ex,C N C daun salam asam kandis cekur C daun pandan herbácea Zingiber officinale ZINGIBERACEAE C padi padi/sempede herbácea Artocarpus heterophy//us MORACEAE Ex, C F nanaka árbol Averrhoa carambola OXALIDACEAE Ex, C F belimbinq arbusto Baccaureadulcis EUPHORBIACEAE Baccaurea sp. Chus reticulata RUTACEAE Citrus grandis Durio zibethinus BOMBACACEAE Ex, C N,C C C Ex,C F F F F F 119 & lisaut 345 limau manís limau besar durian var. aadja / var.teruna ou terutung árbol árbol arbusto arbusto FIO NOMBRE INDIGENA Y.A. TIPO USO SECUNDARIOY BIOLOGICOCOMENTARIOS 155 árbol herbácea 166 árbol 263 árbol herbácea árbol Syzygium aqueum MYRTACEAE Garcinia mangostana CLUSIACEAE Lansium domesticum MELIACEAE Mangifera foetida ANACARDIACEAE Mangifera foetida Mangifera indica Mangifera odorata Musa sp. MUSACEAE Ex, C Ex, C Ex, C N,C N,C Ex, C Ex, C C F F 0 F F F F F jambu air manggis lanasat &.@!y bacang var. tayeh amplam kueni m árbol árbol árbol 145 árbol 135 árbol 138 árbol árbol árbol Nephelium lappaceum SAPINDACEAE Nephelium sp. Palaquium macrocarpum SAPOTACEAE Ex, C N Ex,N F 0 0 rambutan rambutan @ql&i arbusto 339 árbol 344 árbol Perseaamericana LAURACEAE Ex, C F m árbol semilla: especia y aceite cosmético y medicinal rizoma: uso condimentario y medicinal fruto: acidulante para las salsas rizoma: colorante alimentario amarillo ; ritual / hoja: aromatizante alimentario botones florales: condimento / hojas medicinales hoja: condimento acidulante función mágica hoja: colorante y arbmatizante alimentario rizoma: uso condimentario y medicinal hoja: forraje / madera: muebles, construcción fruto: consumido básicamente por los niños madera: construcción madera: construcción madera: construcción I hojas cosméticas corteza medicinal corteza medicinal madera: construcción madera: construcción madera: construcción hoja: embalaje / botón floral: verdura madera: construcción madera: construcción / árbol de gran valor toponímico hojas medicinales DOCUMENTOS DE TRABAIO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 43 Psidium guajava MYRTACEAE Syzygium malaccense MYRTACEAE 44 Ex, C N,C F F jambu keras iambak arbusto 123 árbol Archidendron pauciflorum (sinón. Pithecellobium jiringa) MIMOSACEAEN, C Archidendron microcarpum (sinón Pithecellobium microcarpum) C Parkia singularis MIMOSACEAE N,C F jirina/ ienakol 0 0 kabau petai alai Parkia speciosa C F a Homalomena sp. ARACEAE N,C 0 sanda Manihot esculenta EUPHORBIACEAE C F ubi kayu arbusto Colocasiaesculenta ARACEAE C F lgJ&i herbácea Bridelia sp. EUPHORBIACEAE N F kenidai 283 árbol Omalanthus populneus EUPHORBIACEAE Ecus ampelas MORACEAE N N F 0 & amr>las 225 árbol 177 arbusto Ficus sp. N 0 &3j 564 árbol Acrocarpus fraxinifolius CAESALPINIACEAE Actinodaphne sesquipedalis LAURACEAE Actinodaphne sesquipedalis var. glabra N,C N,C N F F F 159 árbol 137 árbol Aglaia sp. MELIACEAE Alangium kurzii ALANGIACEAE Alstonia scholaris APOCYNACEAE Alstonia sp. Carallia brachiata RHIZOPHORACEAE Endospermum malaccense EUPHORBIACEAE Dehaasia sp. MELIACEAE Dysoxylum sp MELIACEAE Eugenia sp. 1 MYRTACEAE Eugenia sp. 2 Horsfieldia sucosa MYRISTICACEAE Melia azedarach MELIACEAE Prunus sp. ROSACEAE Payena sp. SAPOTACEAE Perseasp. SAPOTACEAE Symplocossp. SYMPLOCACEAE Toona sinensis MELIACEAE Toona sureni Turpinia sp. EUPHORBIACEAE N N,C N N N N N N N N N Ex, C N N N N N,C N N 0 F F 0 F 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 F F F F meluang medana bukit medana bukit peremouan kayu tonq melaku pu& pulai aading nzai kayu tela? medana kuning surjan putih kayu kelat kavu kelat Ficus benjamina MORACEAE Hibiscus tiliaceus MALVACEAE N Ex,C F F beringin daun baru Baccaureacf. javanica EUPHORBIACEAE N 0 p&&t árbol arbusto 154 árbol árbol 156 herbácea 146 394 118 440 142 212 386 120 121 128 129 148 kayu min 390 medana oeniahit 382 395 medana mas kayu balam belukar 130 surian (bawang) 127 surian hambar 221 jaJ& DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol árbol 162 árbol árbol hojas medicinales hojas medicinales semillas comestibles cocidas, no comestibles crudas semillas comestibles crudas y cocidas se consumen tallos y rizomas tubérculos y hojas comestibles hojas medicinales / buena leña leña hoja: utilizada como papel de lija fruto: consumido por los niños señalizador de límites corteza medicinal hojas medicinales látex medicinal hoja: condimento cebo para los pájaros corteza: fibras / hoja: envolturas medicinales señalizador de límites I gran valor simbólico Amorphophallus cf. campanulatus ARACEAE Areca catechu ARECACEAE Areca sp. Arenga pinnata ARECACEAE N C C Boesenbergia sp. ZINGIBERACEAE Caesalpiniasappan CAESALPINIACEAE Cordyline fruticosa LILIACEAE Dioscorea hispida DIOSCOREACEAE Dracaena sp. LILIACEAE Flacourtia rukam FLACOURTIACEAE N, C 0 F 0 F batano kerubut Dinana pinana dewa enau N, C C C C 0 0 F 0 kunvet kunci teraspang je&lncJ gadung C N 0 F Melastoma malabathricum MELASTOMACEAE N F daun seduduk Morinda citrifolia RUBIACEAE Nauclea sp. RUBIACEAE Ormosia sp. PAPILIONACEAE Oroxylon indicum BIGNONIACEAE Pangium edule FLACOURTIACEAE C N N N N.C 0 0 0 0 0 menakudu kavu karmunting pohon debai pohon rebung kepayanq Piper betle PIPERACEAE C F sirih N 0 sirih hantu Archidendron clipearia MIMOSACEAE Potomorphe subpeltata PIPERACEAE N Ex, N 0 F jirina tunai gumbu Uncaria gambir RUBIACEAE Curcuma xanthorrhiza ZINGIBERACEAE Zingiber purpureum ZINGIBERACEAE C C C 0 gambir kunvet temu kunyet bolai Artocarpus elasticus MORACEAE 160 árbol 563 árbol arbusto liana herbácea arbusto arbusto árbol 392 árbol árbol árbol liana herbácea 162 liana herbácea 198 árbol herbácea herbácea herbácea herbácea 413 árbol C C N, P Caryota sp. ARECACEAE Ceiba pentandra BOMBACACEAE Dendrocalamus asper POACEAE Donax canniformis MARANTACEAE Erythrina subumbrans PAPILIONACEAE N C N, C N C Erythrina variegata C Fortunella sp. RUTACEAE Gigantochloa robusta POACEAE C Gigantochloa sp. 1 Halopegia blumei MARANTACEAE Kaempferia elegans ZINGIBERACEAE Pandanus sp. PANDANACEAE Pandanus tectorius Sapindus rarak SAPINDACEAE Schizostachyumbrachycladum var 1 POACEAE 157 árbol árbol 151 árbol Piper cf. chaba Bambusa vulgaris POACEAE Bambusa vulgaris var vulgaris Bischofia javanica EUPHORBIACEAE 133 árbol aur cina aur minvak bintung / pohon uba sampul kapok / kapas k&LlrJg m ’ban dadar, N, C N,C C C N, C C N, C N, C Modos 206 234 árbol árbol árbol 208 188 árbol limau kunci mavan 209 arbusto buluh srik daun liri segundo sinakuang pandan kelikir talang kuning 143 287 herbácea 565 herbácea herbácea árbol 184 árbol 144 mágico señalizador de límites fruto mágico fruto: manjar típico de celebraciones rizoma medicinal mágico-medicinal señalizador de límites tubérculo: veneno ; medicinal del arroz señalizador de límites madera: mágico-medicinal 7 fruto: consumido por los niños y las ardillas hojas medicinales / fruto: consumido por los niños fruto medicinal hojas medicinales mágico-medicinal medicinal fruto: aceite alimentario y medicinal hoja masticatoria, ritual y medicinal mágico-medicinal semillas medicinales hoja: envoltura de la placenta tras el parto hoja: masticatoria rizoma: medicinal mágico-medicinal corteza: fibra / látex: trampas para pájaros / hoja: mágico-medicinal del arroz tallo: caña de pescar tallo: construcciones livianas corteza: tintura / hojas medicinales / madera: combustible fibras y hojas: cuerdas hojas: cuidado de los cabellos caña: construcción caña: cestería árbol de sombra: efecto refrescante árbol de sombra: efecto refrescante función mágica tallo: cestería, útiles de cocción idem hoja: envoltura rizoma: cola para madera hoja: esteras hoja: esteras fruto: jabón tallo: útil de cocción DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3. NOVIEMBRE DE 1998 rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 45 Schizostachyumbrachycladum var 2 Schizostachyumirraten MALVACEAEno identificada Ziziphus sp. RHAMNACEAE N,C N,C C N F F 0 0 talana bihasa temianq pohon sais kayu uho - uho 488 270 arbusto 158 arbusto idem. material de construcción corteza: cordajes madera muy dura: ruedas dentadas y ejes de molino y carreta AnexoIII. Algunosejemplosde la diversidad de Rutaceae y Zingiberaceae utilizadasen Kerinci A M T = = = alimentario; medicinal; técnico; especie forestal; colección del herbario de Yildiz Aumeeruddy. NOMBRE INDIGENA NOMBRE CIENTIFICO N COLECCION usos limau limau limau limau limau limau limau limau limau limau limau Luvunga sp. Citrus sp. 1 Citrus sp.. 2 Citrus sp.. 3 Citrus cf. microcarpa Citrus sp.. 4 Fortunella sp. Citrus reticulata Citrus aurantifolia Citrus medica Citrus hystrix Y.A. Y.A. Y.A. Y.A. M M AIM AIM AIM AIM M AJM A/M M AIM bunian aunjob hantyt kaDas kasturi / kambinq keling% kunci manis niois Dadang oerut Q&r j& kardamunqa jgJy&t kunyet bolai kunvet kunci temulawak 46 q t Y.A. = Kaempferia galanga Zingiber officinale Amomum compactum Curcuma longa Zingiber purpureum Boesenbergia sp.. Alpinia galanga Nicolaia sp.. Kaempferia elegans Costus speciosus Hedychium coronarium Curcuma xanrhorrhiza DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998 Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY 349 483 435 122 Y.A. 399 Y.A. 152 Y.A. 339 Y.A. 161 Y.A. 280 Y.A. 129 Y.A. 565 Y.A. 376 AIM AIM A A/M M M AJM AIM T M M M Títulos publicados en esta colección: 1. Cunningham, A.B. 1993.Plantas medicinales africanas : orientaciones prioritarias en la intersección entre protección de la naturaleza y atención médica primaria. (En inglés y español). 2. Cunningham, A.B. 1993. Sustainability ofHarvesting Prunus africana Bark in Cameroon : A Medicinal Plant in International íVade. (En inglés). La Iniciativa Pueblos y Plantas vio la luz en julio de 1992, impulsada conjuntamente por el WWW, la UNESCOy los Roya1 Botanic Gardens,Kew. Tiene por objeto fomentar un uso sostenible y equitativo de los recursos vegetales prestando apoyo a la labor de los etnobotánicos de los paísesen desarrollo. Esta iniciativa parte de la convicción y el reconocimiento de que los habitantes de las comunidadesrurales poseencon frecuencia un saber detalladoy profundo sobre las propiedadesy la ecología de las plantas que crecenen su entorno y de las que dependenpara nutrirse, curarse y obtener combutible, materiales de construcción y otros productos. Pero gran parte de esesaberestá desapareciendo,engullido por la transformación de los ecosistemasy las culturas locales.Debido a la pérdida de hábitats silvestres,a la intensificación del uso local de las plantas y al aumento de la demanday la presión que ejerce el mercado,asistimos con alarmante y creciente frecuencia a la sobreexplotaciónde plantas no cultivadas.El bienestar de las poblacionesautóctonasy la eventual aplicación de los productos de origen vegetal en otros ámbitos y lugares hacen de la conservacibnalargo plazo de esosproductos y del sabera ellos vinculado un imperativo irrenunciable. Los modos tradicionales de gestión de los recursos vegetalesconfiguran un repertorio muy variado, que abarcadesdeel «cultivo* de ciertas especieshasta la recolección de plantas «silvestres».Los planteamientos que preconiza y aplica Pueblos y Plantas intentan tomar en cuenta todas las posibilidades que caben en tan amplio espectro. La colaboración entre etnobotánicos y poblaciones autóctonas permite estudiar y censar los usos de las plantas, detectar los casosde sobreexplotaciónde especiesno cultivadas, proponer métodos sostenibles de explotación e investigar posiblesalternativas, por ejemplo el cultivo. La Iniciativa Pueblos y Plantas está creando estructuras de apoyo a los etnobotánicos de paísesen desarrollo que colaboran con las poblaciones antdctonas para proteger tanto los recursos vegetales como los conocimientos ecológicostradicionales. Los cordinadores del programa organizan talleres, brindan apoyo tecnico y científico a los proyectos sobre el terreno, alientan debatesy suministran o elaboran bibliografía sobre etnobutanica, saber ecológico tradicional y uso sostenible de los recursos vegetales. Cabeesperarque al amparo de esta iniciativa llegue a consolidarseuna red de etnobotánicos de distintos paíseso regiones interesadosen el tema, una red capazde propiciar el intercambio de información y experienciasy encauzarproyectos de colaboración sobre el terreno. Señas de contacto: Biodiversity Unit Conservation Policy Division, WWF International, World Conservation Centre, Avenue du Mont-Blanc, 1196 Gland, SUIZA Fax: 4122 364 8219 bi l ‘9 D WWF” Division of Ecological Sciences Man and the Biosphere Programme UNESCO, 7 Place de Fontenoy 75352 Paris CEDEX 07 SP, FRANCIA Fax: 33 140659897 The Director Roya1 Botanic Gardens, Kew Richmond, Surey TW9 3AB REINO UNIDO Fax: 44 81332 5197 IN& CARDENS KEW